Ditandatangani, Dimeteraikan, dan Diberikan 👪📖18 Feb
"Aku akan mengadakan permusuhan antara engkau dan perempuan ini, antara keturunanmu dan keturunannya; keturunannya akan meremukkan kepalamu, dan engkau akan meremukkan tumitnya" (Kejadian 3:15).
Paradoks ayat inti dalam Kejadian, dan mungkin di seluruh Alkitab, diucapkan tidak untuk manusia tetapi untuk Lusifer. Sementara malaikat yang jatuh itu adalah objek langsung dari Firman Tuhan, ras manusia yang jatuh itu adalah penerima yang bahagia dari kekuatan mereka.
Di sanalah di tempat kejadian perkara ketika mereka meringkuk dalam keterkejutan dan merasa bersalah, orangtua pertama kita diberi harapan akan datangnya Penebus, janji pengampunan dan penyelamatan dari keadaan tragis mereka yang tak terkatakan.
Pemenuhan janji itu tidak terjadi selama kurun waktu 4.000 tahun. "Tetapi pada waktu yang tepat," ketika konsekuensi dosa telah menekan penduduk dunia hingga ke level terendah, ketika manusia, direndahkan oleh ribuan dosa, tampak dan cenderung bertindak seperti binatang di hutan daripada seperti Allah yang dalam rupa-Nya mereka dibentuk, suara dari surga terdengar, mengatakan: "Korban dan persembahan tidak Engkau kehendaki—tetapi Engkau telah menyediakan tubuh bagiku" (Ibr. 10:5).
Kelahiran Kristus di Betlehem memulai penggenapan dramatis janji yang dibuat di Eden. Hal itu tidak mudah. Kedatangan-Nya, harus layak, memuaskan baik hukum alam maupun tuntutan keadilan. Pribadi yang merupakan Wujud bait suci yang bersama dengan kita, yang setara dengan Allah, juga ada pada tingkat yang sama dengan kemanusiaan. Cara Kristus mengatasi masalah fisik dan etika ini adalah secara taktis yang paling cerdas, secara strategis yang paling menakjubkan dari semua prestasi yang pernah ada. Menjadi Allah sekaligus manusia adalah suatu tindakan yang membingungkan Setan, membuat heran para malaikat, menyenangkan Bapa, dan memberi sukacita dan keselamatan kepada semua orang yang dengan tulus menerima dan dengan setia menurut kepada Firman-Nya.
Tidak hanya kedatangan-Nya dan pelayanan-Nya yang kelak sepenuhnya dicapai, tetapi juga janji kemarahan Setan terhadap misi-Nya. Kebencian yang mengakibatkan pengorbanan hidup-Nya di Kalvari. Tumit-Nya diremukkan, darah-Nya ditumpahkan, dan dengan darah perjanjian yang lebih baik ditandatangani, dimateraikan, dan diberikan.
Pertemuan di Kalvari 👪📖19 Feb
"Sesungguhnya keselamatan dari pada-Nya dekat pada pada orang-orang yang takut akan Dia, sehingga kemuliaan diam di negeri kita. Kasih dan kesetiaan akan bertemu, keadilan dan damai sejahtera akan bercium-ciuman"(Mazmur 85:10,11)
Perjanjian keselamatan dibuat di surga antara Allah Bapa dan Allah Anak sebelum penciptaan dunia yang diungkapkan kepada orangtua kita yang jatuh di Taman Eden yang disebut perjanjian baru, sebagaimana yang tercantum dalam kitab Ibrani Hal ini karena perjanjian yang dibuat dengan bangsa Israel di Sinai, sementara sebenarnya perjanjian kemudian, berakhir sebelum yang satu diumumkan kepada Adam dan Hawa.
Di kayu saliblah kedua perjanjian dipertemukan. Di sinilah, mereka saling menyentuh sebagai tipe (perjanjian Sinai) dan antitipe (perjanjian Eden). Darah Yesus, sementara mengesahkan atau memeterai perjanjian yang semula tetapi baru, diumpamakan dengan darah hewan yang orang setia persembahkan selama 4.000 tahun ketika mereka menghormati yang lama tetapi perjanjian yang kedua—yang pernah disediakan untuk bangsa Israel. Salib adalah tempat di mana kedua perjanjian tersebut bertemu, di mana janji bertemu penggenapannya dan bayangan bertemu dengan substansinya; harapan bertemu dengan realitas, penantian bertemu dengan kenyataan; waktu bertemu dengan keabadian, dan Setan, musuh utama Pangeran Imanuel, bertemu dengan kebinasaannya.
Ellen G. White memberikan gambaran untuk peristiwa pertemuan ini dengan menyatakan bahwa di Kalvari, "keadilan pindah dari takhta yang mulia, dan dengan semua tentara surga mendekati salib. Di sanalah terlihat Seorang yang-setara dengan Allah menanggung hukuman untuk semua ketidakadilan dan dosa. Dengan kepuasan yang sempurna Keadilan membungkuk dengan hormat di kayu salib, mengatakan, "sudah cukup" (Seventh-day Adventist Bible Commentary, Ellen G. White Comments, jld. 7, hlm. 936) .
Ya, sudah cukup! Sudah cukup penderitaan, sudah cukup darah yang tertumpah, sudah cukup rasa sakit, sudah cukup pengorbanan, sudah cukup kesendirian, sudah cukup sakit hati dan sudah cukup demonstrasi kasih sayang dari Tuhan bagi umat manusia. Bapa melihat, “Sesudah kesusahan jiwanya ia akan melihat terang dan menjadi puas” (Yes. 53:11).
Apa yang tidak cukup, tidak pernah bisa cukup untuk rasa syukur kita; kita tidak akan pernah cukup berterima kasih. Seribu masa hidup dalam pelayanan yang taat tidak mampu membayar satu masa hidup pengorbanan-Nya. Keabadian itu sendiri tidak akan cukup untuk memahami sepenuhnya kepenuhan kasih-Nya atau cukup memadai untuk mengekspresikan sukacita penebusan.
Pengesahan yang Lebih Baik👪📖20 Feb
"Sebab yang disebut Yahudi bukanlah orang yang lahiriah Yahudi, dan yang disebut sunat, bukanlah sunat yang dilangsungkan secara lahiriah. Tetapi orang Yahudi sejati ialah yang tidak nampak keYahudiannya dan sunat ialah sunat di dalam hati, secara rohani, bukanlah secara hurufiah. Maka pujian baginya datang bukan dari manusia, melainkan dari Allah" (Roma 2:28,29).
Pilihan Allah untuk ekspresi persetujuan bangsa Israel terhadap ketentuannya yaitu melalui ritual sunat—berdarah dan (karena kurangnya perlengkapan steril) sangat berisiko.
Sebuah batu tajam adalah lebih baik daripada yang tumpul, tetapi itulah yang terbaik, tata cara ini menyakitkan bagi anak dan orangtuanya. Apa yang sulit bagi anak kecil dari bangsa Israel bahkan lebih ditakuti oleh pria yang bergabung dengan bangsa itu sebagai remaja atau orang dewasa.
Tindakan menyakitkan di masa Perjanjian Lama yang telah dimeteraikan itu telah memudar menjadi tidak begitu penting jika dibandingkan dengan rasa sakit dan pengorbanan ketika Perjanjian Baru disahkan. Paku tumpul, yang berkarat dipakukan dengan palu yang berkepala berat yang merobek melubangi tangan dan kaki Yesus. Dagingnya tercabik demi dosa-dosa kita. Darah-Nya mengalir deras dan rela mati untuk kita. Itu tidak cukup. Para seniman cukup baik menggambarkannya, tetapi mungkin tidak akurat dengan menempatkan cawat untuk bagian tengah tubuh Tuhan yang sekarat. Para ahli hampir secara keseluruhan setuju bahwa hal itu tidak demikian adanya. Mereka yang disalibkan pada zaman Kristus biasanya mati dengan semua pakaiannya dilucuti, diejek oleh orang banyak, tersiksa oleh berbagai unsur, dan tanpa henti diserang oleh serangga yang berkerumun dan hama yang merayap.
Sementara berat badan mereka secara bertahap merosot kepada perut mereka yang melemah, bernapas menjadi begitu sulit dan bahkan bagi yang terkuat, dalam waktu 72.jam, kehilangan kemauan dan kemampuan untuk mendorong ke atas pada kaki yang terasa sakit dan sulit menarik napas. Mereka yang disalibkan mati dengan memalukan, tak dapat melepaskan diri, dan dalam penderitaan yang tak terlukiskan.
Tentu saja, Tahanan ini bisa lolos! Dia bisa saja memanggil 10.000 malaikat! Dia bisa, hanya dengan kata-kata atau dengan melihat atau memikirkannya, membunuh musuh-Nya dan melepaskan diri dari nasib yang mengerikan ini. Tetapi Dia memikirkan kita dan janji-Nya kepada Bapa dan perjanjian baru dan yang lebih baik lagi yang Ia harus sahkan. Dengan darah-Nya Dia memateraikan selamanya kesepakatan dalam seumur hidup kita dan janji kekekalan. Dapatkah kita melakukan sedikitnya mengasihi dan melayani Tuhan yang seperti itu?
Baptisan: Tanda yang Lebih Baik👪📖21 Feb
"Dengan demikian kita telah dikuburkan bersama-sama dengan Dia oleh baptisan dalam kematian, supaya, sama seperti Kristus telah dibangkitkan dari antara orang mati oleh kemudian Bapa, demikian juga kita akan hidup dalam hidup yang baru"(Roma 6:4).
Dengan kematian Yesus, penguburan, dan kebangkitan-Nya Kristus menganulir hukum Musa bersama dengan tatacaranya yang banyak (Kol. 2:12-15). Tapi melalui tindakan yang sama, Dia mengesahkan cara baru-Nya untuk berhubungan dengan para pengikut-Nya; pengorbanan yang mengakhiri perjanjian lama, sekarang menerangi yang baru. Bagaimanakah kita mengomunikasikan peristiwa di Kalvari? Oleh baptisan! Dengan mengikuti upacara baptisan, kita, orang Kristen menyatakan kematian kita terhadap dosa, penguburan kita dari ketidaktaatan masa lalu, dan kebangkitan kita untuk hidup baru yang diarahkan dan ditopang oleh Firman Tuhan. Baptisan adalah pernyataan publik penolakan kita terhadap kehidupan kita yang lama, yaitu kehidupan yang fasik dan ketetapan kita untuk hidup selanjutnya, oleh kasih karunia-Nya, dalam kesetiaan terhadap kehendak Kristus.
Baptisan tidak membersihkan kita. Juga tidak memberi kita kekuatan baru Baptisan juga tidak menghasilkan pembenaran atau penyucian. Bukan melalui dirinya sendiri ada tindakan keselamatan, melainkan niat dalam deklarasi sehubungan dengan tanggapan kita mengenai tawaran kemurahan Yesus akan kehidupan kekal.
Apakah baptisan ulang terkadang pantas? Ya. Baptisan ulang pantas untuk mereka yang sudah dibaptis, yang pola hidup mereka terang-terangan melanggar hukum Allah; adalah pantas bagi mereka Membutuhkan dedikasi ulang, meskipun tidak menunjukkan pelanggaran mencolok dari perintah Allah,terinspirasi untuk dedikasi ulang lebih kuat daripada apa yang ditawarkan oleh upacara basuh kaki. Dan karena perintah Kristus untuk membaptis disertai dengan perintah untuk mengajar "Segala sesuatu," adalah paling tepat jika orang Kristen yang dibaptis sebelumnya belajar "segala sesuatu" (semua kebenaran penting untuk keselamatan). Hal ini penting termasuk karakteristik dari Sepuluh Perintah Allah: Hari Sabat, keadaan orang mati, dan kedatangan Yesus yang keduakali
Apakah baptisan dilakukan pada saat pertama kali menanggapi panggilan Allah, atau ketika setelah mengetahui Injil sepenuhnya, atau ketika masuk kembali ke dalam persekutuan gereja setelah kemurtadan, atau hanya sebagai penyerahan hidup yang membutuhkan dedikasi ulang yang serius, hal itu akan menyegarkan para peminat, menggerakkan saksi mata, dan membawa sukacita kepada Trinitas yang dalam namanya hal itu dilakukan.
Keanggotaan Gereja: Sebuah Perjanjian👪📖22 Feb
"Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan babtislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus"(Matius 28:19).
Baptisan adalah perjanjian seseorang kepada Allah di samping komitmen perjanjian seseorang kepada tubuh-Nya yang kelihatan di dunia, yaitu gereja yang diorganisasikan.
Sebagai pintu gerbang kepada keanggotaan gereja, baptisan adalah pernyataan seseorang dari niat tulus untuk menghormati hukum dari para pemimpin gereja, dan bekerja dengan setia untuk Keberhasilannya. Karena itu, baptisan mengikat Orang percaya dalam kewajiban kudus untuk bekerja sama demi kepentingan satu sama lain serta kepentingan gereja itu. Baptisan tidak hanya sekadar penolakan tegas terhadap kerajaan kegelapan, tetapi juga pernyataan dukungan sepenuh hati untuk kerajaan terang dan segala maksudnya.
Komitmen perjanjian kepada gereja meliputi, antara lain, kesaksian pribadi dalam kegiatan kita sehari-hari, kegiatan memenangkan jiwa yang terorganisasi, penggunaan karunia rohani yang telah dikenali dalam pekerjaan gereja, dan membagikan kepemilikan materi (keuangan kita) untuk mendukung program gereja. Perjanjian keanggotaan yang dimeteraikan dengan baptisan seringkali merupakan panggilan untuk penyangkalan diri dan pengorbanan. Kita harus, jika kasih Kristus menerangi hati kita. bersukacita terhadap gereja, terhadap fasilitasnya, terhadap bantuannya, serta inisiatif jangkauan keluar sebagai panggilan rohani kita untuk mengangkat senjata—kewajiban kita yang layak dalam hubungan perjanjian yang telah kita buat dengan Kristus.
Perjanjian kita dengan gereja, berarti kita menghormati aturannya, melindungi namanya, mendukung misinya, dan menyatakan Tuhan dengan segenap hati, pikiran, dan jiwa kita, dibaptis tanpa ketetapan seperti itu berarti belum dikuburkan dan bangkit bersama Dia. Dibaptis dengan pemahaman dan keinginan seperti itu berarti bangkit dari air sebagaimana telah dicerahkan, berkomitmen, pasukan yang efektif Bagi salib, surat sebagai rasul yang produktif menjadi saluran yang baik untuk pekerjaan-Nya, dan tentara yang setia dalam pasukan kebenaran.
"Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan babtislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus"(Matius 28:19).
Baptisan adalah perjanjian seseorang kepada Allah di samping komitmen perjanjian seseorang kepada tubuh-Nya yang kelihatan di dunia, yaitu gereja yang diorganisasikan.
Sebagai pintu gerbang kepada keanggotaan gereja, baptisan adalah pernyataan seseorang dari niat tulus untuk menghormati hukum dari para pemimpin gereja, dan bekerja dengan setia untuk Keberhasilannya. Karena itu, baptisan mengikat Orang percaya dalam kewajiban kudus untuk bekerja sama demi kepentingan satu sama lain serta kepentingan gereja itu. Baptisan tidak hanya sekadar penolakan tegas terhadap kerajaan kegelapan, tetapi juga pernyataan dukungan sepenuh hati untuk kerajaan terang dan segala maksudnya.
Komitmen perjanjian kepada gereja meliputi, antara lain, kesaksian pribadi dalam kegiatan kita sehari-hari, kegiatan memenangkan jiwa yang terorganisasi, penggunaan karunia rohani yang telah dikenali dalam pekerjaan gereja, dan membagikan kepemilikan materi (keuangan kita) untuk mendukung program gereja. Perjanjian keanggotaan yang dimeteraikan dengan baptisan seringkali merupakan panggilan untuk penyangkalan diri dan pengorbanan. Kita harus, jika kasih Kristus menerangi hati kita. bersukacita terhadap gereja, terhadap fasilitasnya, terhadap bantuannya, serta inisiatif jangkauan keluar sebagai panggilan rohani kita untuk mengangkat senjata—kewajiban kita yang layak dalam hubungan perjanjian yang telah kita buat dengan Kristus.
Perjanjian kita dengan gereja, berarti kita menghormati aturannya, melindungi namanya, mendukung misinya, dan menyatakan Tuhan dengan segenap hati, pikiran, dan jiwa kita, dibaptis tanpa ketetapan seperti itu berarti belum dikuburkan dan bangkit bersama Dia. Dibaptis dengan pemahaman dan keinginan seperti itu berarti bangkit dari air sebagaimana telah dicerahkan, berkomitmen, pasukan yang efektif Bagi salib, surat sebagai rasul yang produktif menjadi saluran yang baik untuk pekerjaan-Nya, dan tentara yang setia dalam pasukan kebenaran.
Hati: Tempat yang Lebih Baik👪📖23 Feb
'"Maka inilah perjanjian yang Kuadakan dengan kaum Israel sesudah waktu itu,' demikianlah firman Tuhan. 'Aku akan menaruh hukum-Ku dalam akal budi mereka dan menuliskannya dalam hati mereka, maka Aku akan menjadi Allah mereka dan mereka akan menjadi umat-Ku'"(Ibrani 8:10).
Masalah utama dengan pengaturan perjanjian pertama adalah bahwa Israel tidak pernah menghayati hukum yang tertulis di batu. Ada beberapa yang memiliki semangat itu serta surat aturan yang Allah telah berikan. Mereka memiliki prasangka dan rencana lain: Mereka ingin makanan dan kenyamanan, hak istimewa dan kekuasaan, status dan keamanan, tetapi mereka menghargai cara orang kafir yang ada di sekeliling mereka di atas kehendak Allah yang menjanjikan hal tersebut.
Ketidaktaatan mereka mengakibatkan tidak hanya kekalahan militer dan penyakit fisik, tetapi juga dalam kemunduran sosial, kemerosotan intelektual, dan penipuan diri yang kotor. Kurangnya kepercayaan kepada Tuhan dan mengabaikan perintah-Nya selalu membawa bencana.
Kabar baik bagi kita adalah karena, "Semuanya ini telah menimpa mereka sebagai contoh dan dituliskan untuk menjadi peringatan bagi kita yang hidup pada waktu, di mana zaman akhir telah tiba" (1 Kor. 10:11), kita memiliki kesempatan istimewa untuk memperoleh manfaat dari kesalahan mereka. Kita tidak bisa berharap bahwa semua yang mengakui nama Yesus bertindak sebagai murid yang benar, tetapi kita bisa dan harus sebagai individu memutuskan untuk tidak pernah meninggalkan pernyataan perjanjian kita dengan Allah kita.
Beberapa tahun yang lalu seorang pengusaha terkenal berdiri di hadapan kelas tamatan dari Pine Forge Academy di Pennsylvania Timur dan menyampaikan amanat penamatan terpendek tetapi yang mungkin paling mendalam yang pernah diberikan pada lembaga bersejarah ini Pidato dua menit yang tak terlupakan terdiri dari pengulangan tiga kata—“jangan pernah menyerah." Hanya pada bagian akhir ia memberikan variasi, dengan mengatakan, "jangan pernah, jangan pernah, menyerah!"
Tekad yang abadi tersebut harus menjadi moto setiap anak Tuhan. Bagaimanakah seseorang dapat melewati semua godaan, berhenti atau stop atau menyerah—jangan pernah menyerah? Dengan tetap dalam hubungan berkesinambungan dengan Firman Allah—sumber motivasi kita maupun kekuatan untuk menurut. Kemudian, sebagai gantinya tertekan dari menjadi yang lebih rendah, dan dalam analisis akhir, yaitu standar mematikan dari masyarakat sekitar kita, kita bisa dan akan berhasil dalam kesetiaan, kehormatan, kemitraan etika hidup bersama Tuhan kita.
'"Maka inilah perjanjian yang Kuadakan dengan kaum Israel sesudah waktu itu,' demikianlah firman Tuhan. 'Aku akan menaruh hukum-Ku dalam akal budi mereka dan menuliskannya dalam hati mereka, maka Aku akan menjadi Allah mereka dan mereka akan menjadi umat-Ku'"(Ibrani 8:10).
Masalah utama dengan pengaturan perjanjian pertama adalah bahwa Israel tidak pernah menghayati hukum yang tertulis di batu. Ada beberapa yang memiliki semangat itu serta surat aturan yang Allah telah berikan. Mereka memiliki prasangka dan rencana lain: Mereka ingin makanan dan kenyamanan, hak istimewa dan kekuasaan, status dan keamanan, tetapi mereka menghargai cara orang kafir yang ada di sekeliling mereka di atas kehendak Allah yang menjanjikan hal tersebut.
Ketidaktaatan mereka mengakibatkan tidak hanya kekalahan militer dan penyakit fisik, tetapi juga dalam kemunduran sosial, kemerosotan intelektual, dan penipuan diri yang kotor. Kurangnya kepercayaan kepada Tuhan dan mengabaikan perintah-Nya selalu membawa bencana.
Kabar baik bagi kita adalah karena, "Semuanya ini telah menimpa mereka sebagai contoh dan dituliskan untuk menjadi peringatan bagi kita yang hidup pada waktu, di mana zaman akhir telah tiba" (1 Kor. 10:11), kita memiliki kesempatan istimewa untuk memperoleh manfaat dari kesalahan mereka. Kita tidak bisa berharap bahwa semua yang mengakui nama Yesus bertindak sebagai murid yang benar, tetapi kita bisa dan harus sebagai individu memutuskan untuk tidak pernah meninggalkan pernyataan perjanjian kita dengan Allah kita.
Beberapa tahun yang lalu seorang pengusaha terkenal berdiri di hadapan kelas tamatan dari Pine Forge Academy di Pennsylvania Timur dan menyampaikan amanat penamatan terpendek tetapi yang mungkin paling mendalam yang pernah diberikan pada lembaga bersejarah ini Pidato dua menit yang tak terlupakan terdiri dari pengulangan tiga kata—“jangan pernah menyerah." Hanya pada bagian akhir ia memberikan variasi, dengan mengatakan, "jangan pernah, jangan pernah, menyerah!"
Tekad yang abadi tersebut harus menjadi moto setiap anak Tuhan. Bagaimanakah seseorang dapat melewati semua godaan, berhenti atau stop atau menyerah—jangan pernah menyerah? Dengan tetap dalam hubungan berkesinambungan dengan Firman Allah—sumber motivasi kita maupun kekuatan untuk menurut. Kemudian, sebagai gantinya tertekan dari menjadi yang lebih rendah, dan dalam analisis akhir, yaitu standar mematikan dari masyarakat sekitar kita, kita bisa dan akan berhasil dalam kesetiaan, kehormatan, kemitraan etika hidup bersama Tuhan kita.
Perkara Individu👪📖24 Feb
“Dan orang-orang yang terluput di antara kaum Yehuda, yaitu orang-orang yang masih tertinggal, akan berakar pula ke bawah dan menghasilkan buah ke atas. Sebab dari Yerusalem akan keluar orang-orang yang tertinggal dan dari gunung Sion orang-orang yang terluput; giat cemburu TUHAN semesta alam akan melakukan hal ini" (2 Raja-raja 19:30, 31).
Apakah fakta penolakan bangsa Israel juga berarti jutaan orang yang hidup di bawah ketentuan perjanjian lama akan hilang? Tidak. Fakta ini berarti mereka ditolak sebagai kendaraan surga untuk secara berkelanjutan menunjukkan tujuan Allah bagi umat manusia.
Hal ini tidak aneh. Masalahnya bukan sama sekali mengenai mayoritas bangsa atau umat itu berjanji untuk menurut. Sedikit orang yang diselamatkan pada zaman Nuh memiliki kesejajaran dengan sedikit orang di Sodom dan Gomora, sedikit orang yang mengakui Kristus selama pelayanan-Nya, sedikit orang yang setia dari gereja di padang belantara pada abad kegelapan, dan sedikit orang yang diselamatkan saat Kristus kembali (Luk. 17:26-28).
Apa yang kita pelajari dari kegagalan bangsa Israel (dan kegagalan kita juga) adalah bahwa keselamatan adalah masalah pribadi. Hukum tertulis dalam buku Injil dan pada dinding gereja, dilukis pada mimbar atau kolam baptisan agar dapat dibaca semua orang, ditempatkan dengan baik dan memang seharusnya dibuat menonjol. Tetapi bukan hal ini yang menebus; Hukum Allah harus tertulis dalam hati kita. Apakah arti sebenarnya? Ini berarti bahwa hukum itu harus berada dalam ingatan kita, dalam hati nurani kita—kerangka dan substansi pandangan terhadap dunia yang menuntun setiap tindakan kita.
Sepuluh Perintah Allah bukanlah seperangkat aturan untuk diingat hanya selama Pekan Doa atau hari ibadah khusus, atau secara mencolok digantung pada mimbar sebagai pengingat tanggung jawab kita. Perintah itu juga bukan untuk disusun atau diuraikan untuk sesekali dirujuk dalam studi atau debat. Perintah itu harus menjadi pendamping kita yang berkesinambungan—panduan yang menginformasikan seluruh area hidup kita: Gereja, rumah, sekolah, serta dalam rekreasi kita, pekerjaan kita, dan bahkan dalam waktu luang kita.
Umat Allah yang sisa, yang luput dari tuntutan hukum dosa yang mengerikan di jam-jam yang terakhir bukanlah ras atau golongan agama fisik, tetapi persekutuan rohani-Nya—gereja-Nya yang kelihatan, setiap ras dan denominasi, yang dalam hatinya hukum-Nya telah tertulis dan kasih-Nya bertakhta.