Sendirian Bersama Tuhan
"Masuklah Musa ke tengah-tengah awan itu dengan mendaki gunung itu. Lalu tinggallah ia di atas gunung itu empat puluh hari dan empat puluh malam lamanya" (Keluaran 24:18).
Mengomentari tempat di mana kepada Musa ditunjukkan pola bait suci, Ellen White menyatakan: “Di gununglah bersama Allah, Musa memandang pola bangunan yang mengagumkan yang akan menjadi tempat tinggal kemuliaan-Nya. Di gununglah bersama Allah—di tempat rahasia persekutuan—kita dapat merenungkan cita-cita-Nya yang mulia bagi umat manusia” (Membina Pendidikan Sejati, hlm. 244).
Tapi bagaimanakah dan kapan dan di mana kita dapat melakukan hal ini? Sebagian besar antara kita tidak tinggal di dekat pegunungan, dan beberapa di antara kita terjebak dalam konsep memusingkan dari tugas sehari-hari dan hanya memiliki sedikit waktu untuk meditasi di gunung. Kita bergumul dengan pesawat, kereta api, dan bus yang perlu kita kejar, kemacetan lalu lintas yang harus kita jalani, pertemuan untuk kita hadiri, anak-anak untuk kita jemput dan kita antar, makanan untuk disajikan, halaman untuk dibersihkan, pendidikan yang perlu diselesaikan, dan kebutuhan untuk menelepon kembali semua panggilan yang terdapat dalam daftar panggilan kita, pesan pendek kita, dalam layar surel kita. Persekutuan di atas gunung bersama Allah tidak mudah dipenuhi, namun itu penting untuk menguatkan dan mengarahkan kerohanian kita.
Tentu saja, Allah dapat dan bisa berbicara kepada kita di tengah kesibukan sehari-hari kita—saat kita sedang mengendarai mobil kita, menyantap makanan kita, dll. Tetapi teristimewa penting menyediakan waktu yang tenang ketika kita bisa menutup mata dan berbicara dengan Dia. Kita bisa bertanya kepada diri sendiri: Kapankah hal ini bisa terjadi? Apakah selama kebaktian keluarga, dalam ibadah umum, atau dalam doa dan meditasi yang mengasingkan diri (pribadi)? Kapankah kegiatan ini paling baik untuk dinikmati? Apakah sebelum pagi kita yang damai diganggu oleh telepon yang berdering? Sebelum tugas keluarga datang? Atau sebelum aktivitas lain menuntut perhatian kita? Menentukan waktu yang dikhususkan untuk persekutuan pribadi dengan Tuhan membutuhkan disiplin yang tegas—yaitu menolak mengizinkan siapa pun atau apa pun merampas kita dari waktu yang berharga itu.
Dengan disiplin tegas kita dapat dan harus membuat perjanjian itu sebagai prioritas pertama dan konsisten. Tidak ada keadaan di mana berdoa (paling sering doa yang tenang) tidak dilaksanakan. Hal ini, bagaimana pun, pengalaman doa penyerahan pribadi “di atas gunung,” yang menyatakan hadirat-Nya dengan jelas dan dengan cara yang paling kita butuhkan sebagai orang yang sedang dalam perjalanan rohani.