Jangan Menghakimi


"Elkana. mempunyai dua isteri: yang seorang bernama Hana dan yang lain bernama Penina; Penina mempunyai anak, tetapi Hana tidak” (1 Samuel 1:1-2).

Elkana tinggal di Ramathaim-zophim dengan dua orang istrinya, Hana dan Penina. Hana lebih disukai suaminya, sehingga ia disebut lebih dulu (1 Sam. 1.5 meneguhkan anggapan ini). Namun Penina memiliki peruntungan lebih baik dengan melahirkan anak bagi suaminya, sedangkan Hana mandul!

Tidak memiliki anak sudah cukup menyusahkan bagi wanita masa kini, tapi merupakan kemalangan bagi wanita yang hidup di zaman itu. Mereka menanggung malu terus-menerus karena tidak bisa menjadi taman yang subur untuk benih yang disemai pria. Terlebih lagi, kondisi tak memiliki anak itu sering dipandang sebagai tindakan Allah, seperti terlihat dalam ayat 5 dan 6.

Untuk menghibur hati Hana yang dicintainya, pada hari persembahan korban. Elkana membagi Hana dua kali lipat banyaknya dibanding bagian Penina dan anak-anaknya. Tapi hal itu tidak menyenangkan hati Hana. cemoohan madunya hanya membuatnya berlinang air mata dan kehilangan nafsu makan. Seperti umumnya pria yang kurang peka (meskipun berniat baik), Elkana berkata kepadanya, "Hana, mengapa engkau menangis dan mengapa engkau tidak mau makan? Mengapa hatimu sedih? Bukankah aku lebih berharga bagimu dari pada sepuluh anak laki-laki?" (ay. 8).

Pada suatu hari di Silo, Hana yang kesedihan hatinya sudah tak tertahankan berlutut di depan mezbah dan menangis di hadapan Allah: "Kemudian bernazarlah ia, katanya: TUHAN semesta alam, jika sungguh-sungguh Engkau memperhatikan sengsara hamba-Mu ini dan mengingat kepadaku dan tidak melupakan hamba-Mu ini, tetapi memberikan kepada hamba-Mu ini seorang anak laki-laki, maka aku akan memberikan dia kepada TUHAN untuk seumur hidupnya” (ay. 11)

Imam Eli yang mengamat-amatinya tidak bisa mendengar doa itu. karena Hana berdoa dalam hati dengan mulut komat-kamit tak bersuara. Terbiasa mengusir roh jahat. Eli berkata. “Berapa lama lagi engkau berlaku sebagai orang mabuk? Lepaskanlah dirimu dari pada mabukmu." (ay. 14). Tapi saat mendengar penjelasan Hana, imam itu pun memberkatinya sambil berkata. "Pergilah dengan selamat” (ay. 17). tanpa meminta maaf atas tuduhannya.

Kita tidak bisa memandang enteng urusan menghakimi ini. Amat sering kita, dalam keterbatasan manusiawi, dengan mudah menarik kesimpulan yang acapkali salah. Mungkin karena itulah hanya sedikit dari kita yang benar-benar dipanggil oleh Allah untuk menjadi hakim bagi orang lain. Biarkanlah Tuhan—satu-satunya yang tak terbatas, mahatahu, dan tak mungkin salah—yang melakukan penghakiman! Kita tidak dipilih untuk menghakimi orang lain.
72

0 komentar :

Post a Comment

 
RENUNGAN GMAHK © 2016. All Rights Reserved. Powered by Blogger
Top
close
Banner iklan