KESURAMAN MALAM DALAM JIWA SAYA
“Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan aku?Aku berseru, tetapi Engkau tetap jauh dan tidak menolong aku. Allahku, aku berseru-seru pada waktu siang, tetapi Engkau tidak menjawab, dan pada waktu malam, tetapi tidak juga aku tenang” (Mazmur 22:2,3).
Di dalam Mazmur 22, kita menemukan teriakan Daud di tengah penderitaannya yang dalam. Di manakah Aliahnya ketika dia membutuhkan-Nya? Mengapa tidak ada jawaban terhadap doanya? Apakah Allah sesungguhnya telah meninggalkannya?
Belajar melampaui mazmur Daud itu adalah pengalaman Kristus. Dan Yesus, menyadari kedalaman arti mazmur itu, kemungkinan telah menghafal kata-katanya.
Merasa ditinggalkan Allah pada saat mendapat tekanan adalah suatu pengalaman yang kita semua sudah alami dari waktu ke waktu. Walau sebagai umat Kristen, ada hari-hari kita yang terang dan cerah, kita juga mengalami saat-saat gelap ketika segala sesuatu seakan-akan salah dan semua orang menentang kita. “Di mana Aliahmu sekarang?” Itulah yang kita pikirkan.
Sebagaimana Yesus mengalami kesuraman malam pada jiwa-Nya, begitu juga Daud dan saya pernah mengalaminya. Pada saat-saat demikian doa-doa saya seakan-akan tidak mencapai tujuan. Jawaban-jawaban terhadap doa-doa itu tampaknya tidak ada.
Pada saat-saat demikian kita perlu dihibur oleh malam suram Yesus. Kenyataan dari hal ini adalah Allah sesungguhnya dekat kepada kita meski pun kita tidak melihat-Nya. Yesus di kayu salib merasa ditinggalkan, tetapi selain perasaan-perasaan-Nya, Dia hanya “tampaknya ditinggalkan Allah” (Alfa dan Omega, jld. 6, hlm. 408). Allah tidak meninggalkan-Nya. Dan Bapa yang sama berdiri mendampingi kita di saat kita mengalami krisis-apa pun perasaan-perasaan kita.
Bahkan dalam kegelapan yang demikian kelam, tampaknya ditinggalkan, Yesus dapat berkata kepada Bapa sebagai “Allah-Ku,” Bapa pribadi-Nya. Bahkan ketika Yesus tidak dapat melihat atau merasakan kehadiran Allah, Dia masih berpegangan pada-Nya. Inilah iman dan kepercayaan di tengah apa yang tampak bagaikan kesuraman mencekam. Bagi Yesus, Dia adalah “Allah-Ku” bagaimanapun perasaan-Nya dan penampilan lahiriah-Nya. Inilah titik puncak iman Yesus bahwa “Allahku” tidak akan mengecewakan-Nya.
Akhirnya iman kepada kehadiran Bapa yang tidak kelihatan itu memungkin-Nya meninggalkan kayu salib dengan kata-kata kemenangan ketika Dia berseru nyaring “Sudah selesai” dan menyerahkan roh-Nya kepada Bapa-Nya. “Allah-Ku” selama itu ada disana walau Yesus tidak merasakan kehadiran-Nya.
Pengalaman-Nya mempunyai sesuatu yang penting bagi saya. Sebagaimana saya juga mengalami kegelapan tengah malam jiwa saya, ketika saya merasa ditinggalkan Allah, begitulah saya dapat tetap menatap mata iman saya kepada “Allahku.” Tidak peduli bagaimana kelihatannya dan apa yang dirasakannya, Allah tidak meninggalkan kita di saat-saat kesulitan.