PERJALANAN TERAKHIR KE YERUSALEM
“Setelah Yesus selesai dengan segala pengajaran-Nya itu, berkatalah Ia kepada murid-murid-Nya: ‘Kamu tahu, bahwa dua hari lagi akan dirayakan Paskah, maka Anak Manusia akan diserahkan untuk disalibkan.’Pada waktu itu berkumpullah imam-imam kepala dan tua-tua bangsa Yahudi di istana Imam Besar yang bernama Kayafas, dan mereka merundingkan suatu rencana untuk menangkap Yesus dengan tipu muslihat dan untuk membunuh Dia. Tetapi mereka berkata: ‘Jangan pada waktu perayaan, supaya jangan timbul keributan di antara rakyat’” (Matius 26:1-5).
Sekarang kisah Injil bergeser dengan cepat. Semenjak pengakuan Petrus bahwa Yesus adalah Kristus, peristiwa-peristiwa bergerak menuju kayu salib bilamana Yesus berusaha membantu para murid untuk mengerti apa artinya bagi Dia sebagai Kristus. Sebagian besar mereka dalam tugas tersebut gagal. Tetapi Dia sudah mempersiapkan mereka dengan banyak pengajaran yang akan memungkinkan mereka mengatur semuanya dengan baik apabila mereka mengingat kembali kata-kata-Nya setelah kebangkitan.
Sementara itu, kita perlu menyadari bahwa kematian Yesus bukan akhir atau lampiran kehidupan-Nya. Sebaliknya, kematian-Nya yang menjadikan kehidupan-Nya berarti. Yesus datang ke dunia supaya Dia dapat “memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang” (Mat. 20:28). Darah-Nya akan “ditumpahkan bagi banyak orang untuk pengampunan dosa” (Mat. 26:28), dan melalui kematian dan kebangkitan-Nyalah Dia akan “menyelamatkan umat-Nya dari dosa mereka” (Mat. 1:21).
Kematian Yesus bagian utama kitab Injil. Dengan demikian definisi Martin Kahler tentang keempat Injil itu sebagai “kisah-kisah penderitaan dengan pengantar yang panjang” memberikan tekanan di tempatnya yang tepat.
Ketika Yesus mengadakan perjalanan terakhir-Nya ke Yerusalem, pengajaran dan pelayanan penyembuhan-Nya di hadapan umum akan berakhir. Tidak banyak kata yang keluar dari bibir-Nya kecuali perkataan kepada para murid-Nya, terutama pada Perjamuan Terakhir dan doa-Nya di Getsemani. Lebih tepat ialah, kita menonton drama ketika orang-orang Yahudi, dengan bantuan kaki-tangan Romawi, menempatkan Mesias ke atas kayu salib.
Yesus mengahadapi kayu salib bukan sebagai tebusan kejadian-kejadian di luar kendali-Nya. Dia tahu apa yang akan terjadi dan Dia bisa saja menolak melakukan perjalanan ke arah Yerusalem. Tetapi Alkitab menggambarkan Dia sebagai pemegang kendali dari apa yang akan terjadi. “Aku memberikan nyawa-Ku untuk menerimanya kembali,” Dia beritahu para murid-Nya. “Tidak seorang pun mengambilnya dari pada-Ku, melainkan Aku memberikannya menurut kehendak-Ku sendiri” (Yoh. 10:17,18).
Tetapi walau Yesus memegang kendali dan mengetahui apa yang sedang berlangsung, itu tidak berarti bahwa kekuatan-kekuatan lain tidak berusaha untuk melaksanakan akhir yang mereka kehendaki. Yerusalem dengan “resmi” telah menolak Dia dan sedang berusaha untuk mewujudkan kematian-Nya.
PERJALANAN TERAKHIR KE YERUSALEM
“Setelah Yesus selesai dengan segala pengajaran-Nya itu, berkatalah Ia kepada murid-murid-Nya: ‘Kamu tahu, bahwa dua hari lagi akan dirayakan Paskah, maka Anak Manusia akan diserahkan untuk disalibkan.’Pada waktu itu berkumpullah imam-imam kepala dan tua-tua bangsa Yahudi di istana Imam Besar yang bernama Kayafas, dan mereka merundingkan suatu rencana untuk menangkap Yesus dengan tipu muslihat dan untuk membunuh Dia. Tetapi mereka berkata: ‘Jangan pada waktu perayaan, supaya jangan timbul keributan di antara rakyat’” (Matius 26:1-5).
Sekarang kisah Injil bergeser dengan cepat. Semenjak pengakuan Petrus bahwa Yesus adalah Kristus, peristiwa-peristiwa bergerak menuju kayu salib bilamana Yesus berusaha membantu para murid untuk mengerti apa artinya bagi Dia sebagai Kristus. Sebagian besar mereka dalam tugas tersebut gagal. Tetapi Dia sudah mempersiapkan mereka dengan banyak pengajaran yang akan memungkinkan mereka mengatur semuanya dengan baik apabila mereka mengingat kembali kata-kata-Nya setelah kebangkitan.
Sementara itu, kita perlu menyadari bahwa kematian Yesus bukan akhir atau lampiran kehidupan-Nya. Sebaliknya, kematian-Nya yang menjadikan kehidupan-Nya berarti. Yesus datang ke dunia supaya Dia dapat “memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang” (Mat. 20:28). Darah-Nya akan “ditumpahkan bagi banyak orang untuk pengampunan dosa” (Mat. 26:28), dan melalui kematian dan kebangkitan-Nyalah Dia akan “menyelamatkan umat-Nya dari dosa mereka” (Mat. 1:21).
Kematian Yesus bagian utama kitab Injil. Dengan demikian definisi Martin Kahler tentang keempat Injil itu sebagai “kisah-kisah penderitaan dengan pengantar yang panjang” memberikan tekanan di tempatnya yang tepat.
Ketika Yesus mengadakan perjalanan terakhir-Nya ke Yerusalem, pengajaran dan pelayanan penyembuhan-Nya di hadapan umum akan berakhir. Tidak banyak kata yang keluar dari bibir-Nya kecuali perkataan kepada para murid-Nya, terutama pada Perjamuan Terakhir dan doa-Nya di Getsemani. Lebih tepat ialah, kita menonton drama ketika orang-orang Yahudi, dengan bantuan kaki-tangan Romawi, menempatkan Mesias ke atas kayu salib.
Yesus mengahadapi kayu salib bukan sebagai tebusan kejadian-kejadian di luar kendali-Nya. Dia tahu apa yang akan terjadi dan Dia bisa saja menolak melakukan perjalanan ke arah Yerusalem. Tetapi Alkitab menggambarkan Dia sebagai pemegang kendali dari apa yang akan terjadi. “Aku memberikan nyawa-Ku untuk menerimanya kembali,” Dia beritahu para murid-Nya. “Tidak seorang pun mengambilnya dari pada-Ku, melainkan Aku memberikannya menurut kehendak-Ku sendiri” (Yoh. 10:17,18).
Tetapi walau Yesus memegang kendali dan mengetahui apa yang sedang berlangsung, itu tidak berarti bahwa kekuatan-kekuatan lain tidak berusaha untuk melaksanakan akhir yang mereka kehendaki. Yerusalem dengan “resmi” telah menolak Dia dan sedang berusaha untuk mewujudkan kematian-Nya.