Keadaan Buruk Adam Kedua
"Sebab untuk itulah kamu dipanggil, karena Kristus pun telah menderita untuk kamu dan telah meninggalkan teladan bagimu; supaya kamu mengikuti jejak-Nya” (1 Petrus 2:21). "
Dibandingkan dengan Adam pertama, keadaan Yesus jauh lebih buruk. Ketika Adam makan, dia tidak sedang lapar—Yesus berpuasa 40 hari dan 40 malam ketika didekati oleh Setan di padang gurun. Tanggung jawab utama Adam adalah untuk Hawa dan dirinya sendiri—Yesus bagi seluruh alam semesta. Adam memulainya dengan keabadian yang bersyarat—Yesus dengan jubah kematian.
Yesus sangat tidak diuntungkan jika dibandingkan dengan kita juga. Kita tidak, seperti Adam Kedua, hidup di bawah beban penyelamatan dunia atau pemulihan nama baik karakter Allah, atau kesejahteraan alam semesta sebagai konsekuensi dari tindakan kita.
Dan jangan lupakan apa yang merupakan pencobaan Kristus yang paling perih—memanfaatkan kekuatan Ketuhanan-Nya untuk mempertahankan kehormatan-Nya, untuk menghilangkan rasa sakit-Nya, dan bahkan untuk membalas musuh-musuh-Nya. Pada setiap peristiwa genting atau saat dicobai, “Dia bisa saja memanggil sepuluh ribu malaikat!” Tetapi dalam manifestasi pengendalian diri yang terlalu menakjubkan untuk dipahami manusia, Ia menolak untuk melakukannya. Dia bertahan sebagaimana kita juga harus bertahan.
Kita tidak bisa menyamai atau meniru tingkat pertahanan-Nya. Mengapa? Karena kita tidak memiliki kuasa penciptaan dan penghancuran, Dia merasa perlu untuk menahannya sementara berada di antara kita. Dorongan kita kepada kepuasan diri tidak akan mengizinkan pengendalian diri seperti itu.
Namun demikian kita harus tanpa henti berusaha untuk mencapai standar kinerja-Nya yang tinggi. Kita tidak dapat melakukan hal ini dengan mengerjakan daftar perilaku, boleh dan tidak boleh, tetapi kita bisa melalui menyerahkan keangkuhan kita kepada-Nya dan dengan mengarahkan pandangan kita kepada-Nya yang adalah teladan dan sumber kekuatan kita, dan bukan kepada orang lain. Dan kita melakukannya oleh karena begitu terpengaruh oleh kasih-Nya sehingga kita lebih baik mati daripada melanggar; dengan mengingat bahwa ketika kita berdosa, kita “menyalibkan lagi Anak Allah” (lihat Ibr. 6:6); dan dengan terlibat setiap hari dalam doa yang penuh makna dan belajar firman-Nya.
Tak satu pun dari hal ini—nyatanya, semua hal ini—tidak bisa membuat kita menjadi benar-benar sempurna seperti Dia, tetapi hal itu akan membentuk kita dalam keserupaan dengan Dia dan membawa sukacita kepada hati-Nya yang penuh kasih.