Yesus Sepenuhnya Manusia
"Maka menangislah Yesus" (Yohanes 11:35).
Menangis adalah salah satu emosi manusia yang paling mengesankan, dan ada banyak tokoh Alkitab yang menangis. Daud menangis ketika memohon kepada Tuhan untuk belas kasihan dan kelepasan (Mzm. 69:10); Hannah menangis ketika memohon untuk anak (1 Sam 1:7); Nehemia menangis ketika menanggung beban berat kemurtadan Israel (Neh. 1:4); Ezra menangis ketika memohon kepada Allah untuk kebangunan rohani (Ezra 10:1); dan Elia menangis ketika merenungkan kehancuran yang akan dibawa Hazael, Raja Aram kepada umat Allah yang tidak taat (2 Raj. 8:12).
Tangisan ini dan kasus lainnya yang dicatat dalam Alkitab menyatakan secara nyata kondisi kemalangan dan penderitaan kita sebagai manusia. Kita semua menangis ketika hati kita dihantam oleh kesedihan yang begitu besar. Kita menangis. Beberapa dari kita dapat menjaga ambang batas rasa sakit yang lebih tinggi daripada yang lain, tetapi hanya mereka yang tidak berperasaan yang tidak menangis. Bagi mereka yang secara fisik tidak bisa menangis, mungkin tidak ada air mata yang jatuh, tetapi sakit hati sama buruknya.
Yesus—Adam kita yang kedua, juga menangis. Dia menangis ketika merenungkan dosa dan kehancuran Yerusalem. Dia menangis di makam Lazarus karena kebodohan dan kebebalan manusia. Dia menangis; bukan untuk diri-Nya, bukan untuk rasa sakit dan penolakan yang Dia akan segera alami, bukan untuk perpisahan dengan Bapa-Nya yang Ia akan segera derita, bukan untuk pengkhianatan murid-Nya dan penyaliban-Nya—tetapi untuk kita.
Hati-Nya yang besar, begitu dipenuhi oleh simpati atas nasib kita, dibanjiri dengan tangisan belas kasihan dan penyesalan. Ia yang merupakan esensi dari martabat dan keberanian, teladan ketenangan, guru pengendalian diri dan stabilitas emosional; Dia, Tuhan dan Penebus kita dan Adam kita yang lebih baik, menangis bahkan seperti kita. Dia menyeka matanya yang memerah dan mengertakkan gigi-Nya dan berdoa untuk mereka dan kita.
Ada cara lain yang merupakan manifestasi kemanusiaan-Nya; rasa lapar-Nya, haus-Nya, dan kelelahan-Nya semua mengungkapkan kemanusiaan-Nya. Tetapi air mata-Nya untuk umat manusia menunjukkan sesuatu yang lebih daripada cara lainnya, kecuali pertumpahan darah dan kematian-Nya di atas kayu salib, kesatuan dengan umat manusia yang Dia telah capai dan bahwa, bahkan sekarang, Ia menuntutnya di hadapan Bapa untuk kepentingan kita.
Dalam kemuliaan sekarang Dia jauh dari rasa sakit fisik dan emosional yang ia alami ketika di sini di bawah. Tetapi Dia masih menangis, secara kiasan, karena tawaran-Nya atas kasih karunia begitu dianggap remeh dan penurutan di bumi begitu sangat sedikit.