Pertarungan
“Mereka... memanggil nama Baal dari pagi sampai tengah hari, katanya: ‘Ya Baal, jawablah kami!’ Tetapi tidak ada suara, tidak ada yang menjawab” (1 Raja-raja 18:26).
Ahab, raja di kerajaan utara Israel, sujud menyembah Baal. Sebagai tanda ketidaksenangan Allah, tanah di kerajaan ini mengalami kekeringan selama tiga tahun. Akhirnya Allah menyuruh Elia, "Pergilah, perlihatkanlah dirimu kepada Ahab” (1 Raj. 18 :1) Elia menghadap raja dan memerintahkannya untuk "mengumpulkan seluruh Israel ke Gunung Karmel, juga nabi-nabi Baal yang empat ratus lima puluh orang itu dan nabi-nabi Asyera yang empat ratus itu” (ay. 19) untuk mengatur sebuah pertarungan antara TUHAN dan Baal.
Elia mengusulkan agar para nabi palsu itu mempersembahkan seekor lembu kepada Baal, dan ia juga akan mempersembahkan seekor kepada TUHAN. Allah mana yang menjawab, dengan api, menjadi pemenangnya. "Seluruh rakyat menyahut, katanya. 'Baiklah demikian!"’ (ay. 24).
Sepanjang hari para nabi Baal berdoa dan menari di sekeliling mezbah, sambil melukai tubuh mereka untuk memancing Baal agar bertindak. "Tetapi tidak ada suara, tidak ada yang menjawab" (1 Raj. 18:26).
Ketika Elia berdoa, setelah menggenangi parit di sekeliling mezbahnya dengan 12 buyung air, "Turunlah api TUHAN menyambar habis korban bakaran, kayu api, batu dan tanah itu, bahkan air yang dalam parit itu habis dijilatnya” (ay 38).
Pendapat umum mengatakan bahwa Allah selalu menjawab doa-doa. Kadang-kadang la berkata tidak; kadang, ya; dan terkadang pula, tunggu. Dengan logika ini, diamnya Baal adalah sebuah jawaban—“tidak”! (Atau mungkin Baal menjawab “tunggu", tapi Elia terlalu tidak sabar.) Namun kisah Gunung Karmel ini memberitahu kita bahwa dua kali Baal tidak menjawab doa nabi-nabinya (ay 26 dan 29).
jawaban sebuah doa mestilah berhubungan dengan permohonan doa tersebut. Bila suatu doa dijawab artinya Allah mengabulkan doa itu. Pendapat umum di atas menimbulkan masalah karena sebuah doa belum dijawab kecuali doa itu dikabulkan. Sehingga, apa pun yang terjadi—atau tidak terjadi—dapat dipelintir menjadi sebuah “jawaban’ doa, dan jawaban dari Allah menjadi sebuah trik "ekor, aku yang menang; kepala, kamu yang kalah."
Sebaiknya kita tidak terburu-buru menerima gagasan bahwa doa selalu dijawab—dengan ya, tidak, atau tunggu. Jika kita percaya bahwa doa dapat membuat perubahan, maka kita harus membuktikan kepercayaan itu dengan jelas dan meyakinkan. Bila tidak demikian, diamnya Allah bisa disalahmengerti sebagai sebuah jawaban atas doa.
0 komentar :
Post a Comment