KESELAMATAN CARA MANUSIA

“Aku akan bangkit dan pergi kepada bapaku dan berkata kepadanya: Bapa, aku telah berdosa terhadap sorga dan terhadap bapa, aku tidak layak lagi disebutkan anak bapa; jadikanlah aku sebagai salah seorang upahan bapa” (Lukas 15:18,19).

Setidaknya sebagian teologi anak yang hilang itu benar. Sungguh tak layak disebut anak, dia telah menjalani kehidupan dalam keadaan memberontak, dimulai dengan tuntutannya agar bapanya memberikan dia bagian warisannya. “Aku ingin bagianku sekarang, Pak tua. Aku tidak bisa menunggu dan menunggu terus sampai kamu mati. Aku kan harus menjalani kehidupanku. Dan aku ingin melakukannya waktu aku masih muda. Jadi, berikan saja karena kamu tidak bisa membawanya ke liang kubur bersamamu.”

Anak baik? Jenis seperti ini sebagian besar kita tidak inginkan. Tidak punya sikap hormat dan hanya memikirkan diri sendiri. Kemudian dia mendapatkan yang dia inginkan. Dan dengan apa yang dia peroleh itu tibalah foya-foya dalam bentuk penyalahgunaan, seks kapan dan di mana saja, dan segala jenis kepelesiran dunia ini. Dan dia sungguh-sungguh tidak berhasrat pada bapanya selama dia punya duit untuk mendukung hobinya. Dia berbalik kepada bapanya hanya bilamana dia putus asa. Itu perbuatan tanpa kasih, hanya dorongan keputusasaan. Ya, dia benar-benar tidak layak jadi seorang anak. Tetapi akhirnya dia bersedia mengakuinya.

Dan dia benar tentang satu hal lain: “Bapa, aku telah berdosa terhadap sorga dan terhadap bapa.” Dosa bukan sekadar terhadap sesama. Dosa juga terutama terhadap Allah, Bapa kita semua. Daud mengutarakan kebenaran itu setelah pengalaman “negeri yang jauh”-nya, menyelingkuhi Batsyeba dan membunuh Uria untuk menutupi jejaknya. Dalam penyesalan dia berseru kepada Allah, ‘Terhadap Engkau, terhadap Engkau sajalah aku telah berdosa” (Mzm. 51:4).

Teologi yang baik, selama ini. Tetapi kemudian putra kedua itu menyimpang dari jalur. “Jadikanlah aku sebagai salah seorang upahan bapa” adalah permohonannya. Untuk mengerti implikasi permohonn itu, kita harus mengingat bahwa ada tiga jenjang orang muda di dalam satu rumahtangga. Pada puncak himpunan sosial itu adalah anak-anak. Mereka mempunyai hak dan tanggungjawab istimewa yang tidak dimiliki orang lain. Di luar itu, mereka adalah ahli waris. Tetapi pemuda yang kembali pulang itu tahu bahwa dia sudah kehilangan kedudukan itu.

Kemudian ada para hamba. Mereka memiliki sedikit kepastian. Keluarga memiliki para hamba dan dengan demikian mereka adalah bagian rumah tangga. Di dasar himpunan ini adalah para penolong yang dibayar. Hari ini ada, besok sudah pergi, bergantung pada kebutuhan pekerja. Kedudukan sangat tidak pasti. Jadi sang anak memohon agar bapanya memberikan yang patut dia terima. Rupanya dia inginkan bekerja agar mendapat kembali kasih sayang keluarga. Dengan mengambil pekerjaan paling rendah, dengan lewatnya tahun demi tahun dalam bekerja keras, maka dia dapat membuat dirinya “layak” menyandang status anak kembali. Tetapi dalam pendekatan “keselamatan melalui pekerjaan,” dia sama sekali salah mengerti Bapa.
 
RENUNGAN GMAHK © 2016. All Rights Reserved. Powered by Blogger
Top
close
Banner iklan