SOLUSI BAGI RASA TAKUT
Barangsiapa tidak memikul salibnya dan mengikut Aku, ia tidak layak bagi-Ku. Barangsiapa mempertahankan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya, dan barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan memperolehnya” (Matius 10:38,39).
Salib di zaman Yesus bukanlah sesuatu yang mengundang tawa atau sekadar lambang. Yesus dan para murid-Nya tahu apa arti salib. Di tahun 7 Masehi, Yudas dari Galilea memimpin suatu pemberontakan melawan Roma. Setelah Jenderal Varus mematahkan pemberontakan itu, dia menyalibkan lebih 2.000 orang Yahudi. Supaya bangsa Yahudi mengerti apa yang dimaksudkan, Varus menempatkan salib-salib mereka di sepanjang sisi jalan menuju Galilea.
Gambaran disalib tidak berpengaruh banyak pada daya khayal abad kedua puluh satu kita. Kita belum pernah melihat suatu penyaliban. Tapi tidak demikian para murid. Ketika mereka melihat sekelompok prajurit Romawi mengawal seseorang melintas kota sambil membawa atau menyeret salib, mereka paham bahwa itu jalan terakhir. Mereka paham bahwa kayu salib adalah kematian paling kejam dan paling merendahkan-suatu kematian yang orang Romawi lebih banyak gunakan sesering mungkin untuk mengendalikan wilayah-wilayah rawan masalah seperti Palestina.
Tapi Yesus memberitahu murid-murid-Nya yang tidak mengerti bahwa setiap umat Kristen akan memiliki salib. Mereka tentu bertanya apa yang Dia bicarakan. Mereka berharap akan memegang kedudukan tinggi di pemerintahan-Nya, bukan menjadi penjahat yang menderita penyaliban. Saat itu memang mereka tidak mengerti, tapi mereka akan mengerti di tahun-tahun ke depan.
Lebih tidak bisa dimengerti adalah Yesus memberitahu mereka bahwa menanggung salib akan membawa mereka ke suatu kehidupan, karena “barangsiapa mempertahankan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya, dan barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan memperolehnya.”
Apa yang ketika itu membingungkan akan menjadi jelas setelah Yesus mengalami salib-Nya sendiri dan para rasul itu mulai memberitakan pekabaran salib. Ajaran mereka tidak menyatakan bahwa kita semua akan mati pada kayu salib sebenarnya, tetapi cara hidup kita yang hanya mementingkan diri sendiri dan terpusat pada diri sendiri dan memikirkan kesejahteraan diri sendiri akan berakhir, dan kita akan hidup untuk kerajaan Allah dan bukan untuk tujuan-tujuan yang berpusat pada diri sendiri dan untuk diri sendiri saja. Paulus dengan tajam menyatakannya ketika dia menulis: “Aku telah disalibkan dengan Kristus; namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku. Dan hidupku yang kuhidupi sekarang di dalam daging, adalah hidup oleh iman dalam Anak Allah yang telah mengasihi aku dan menyerahkan diri-Nya untuk aku” (Gal. 2:20).
Salah satu paradoks kehidupan adalah melekatkan diri kita pada tujuan-tujuan yang hanya mementingkan diri kita sendiri, maka kita akhirnya akan kalah total. Tetapi dengan menjalani kehidupan salib kita menemukan kehidupan kekal. Dan pada waktu itulah kita menyadari kenyataan itu bahwa kayu salib yang najis itu telah mengakhiri (menyalibkan) semua ketakutan.