MENYAMPAIKAN HARAPAN KEPADA PARA ANGGOTA GEREJA
“Kata ayahnya kepadanya: ‘Anakku, engkau selalu bersama-sama dengan aku, dan segala kepunyaanku adalah kepunyaanmu. Kita patut bersukacita dan bergembira karena adikmu telah mati dan menjadi hidup kembali, ia telah hilang dan didapat kembali’” (Lukas 15:31,32).
Betapa besar tragedinya menghabiskan seluruh kehidupan kita di rumah bapa sedangkan sama sekali tidak mengerti hatinya. Lebih buruk lagi, betapa suatu parodi besar menghabiskan seluruh hidup kita di gereja dan tidak pernah memahami kasih dan karunia Bapa.
Dengan anak sulung ini, kita kembali ke perumpamaan mata uang yang dicatat di dalam Lukas 15. Kepingan uang itu dari luar kelihatan bagus, mengilat dan menarik. Tetapi kepingan itu hilang. Sebagai kepingan mata uang, itu tidak memiliki pengertian spiritual sama sekali. Terkesan penampilan lahiriahnya, kepingan itu bahkan tidak tahu keadaan hilangnya. Tetapi itu masih di dalam rumah, gereja, rumah ibadat.
Di sini Yesus kembali kepada orang-orang Farisi di antara hadirin yang sedang mendengarkan apa yang dibeberkan dalam ayat 1 dan 2. Berbicara kepada semua yang sedang mendengarkan kepada-Nya, Yesus memberikan perumpamaan domba yang hilang kepada orang-orang awam (para pendosa) yang mengetahui bahwa mereka hilang, tetapi tidak tahu harus berbuat apa mengatasinya. Dia menggelar kisah anak yang hilang untuk memperhadapkan para pemungut cukai yang sedang mendengar, pemberontak di hati yang bermewah-mewah atas hasil tidak jujur mereka. Tetapi para ahli Taurat dan orang-orang Farisi dan para anggota gereja yang “baik” mendapat dua dosis: Perumpamaan kepingan uang yang tidak punya pengertian dan perumpamaan orang yang bekerja keras dan pergi ke gereja yang tampaknya memiliki semua secara teratur dan rapi, tetapi sesungguhnya hilang sama sekali, dia tidak menyadarinya.
Di akhir perumpamaan itu ada anak sulung, yang sedikit pun tak mengerti mengapa Allah menyukai pesta. Dia selalu mengkritik orang lain dan iba pada dirinya sendiri. Namun sesungguhnya bisa saja untuknya diadakan pesta. Yang perlu dia lakukan hanyalah meminta. Tragedi “anak-anak sulung” gereja dalam kehidupan adalah bahwa mereka tidak mengerti Bapa. Mereka hanya duduk di gereja dan relaks-bahkan terhadap kasih karunia.
Kisahnya berakhir dengan sang ayah perlu masuk ke dalam kegelapan dan berusaha sebisanya menjangkau hati anak sulungnya, mencari seperti sang wanita itu mencari kepingannya.
Bagian paling membuat kita frustrasi dari perumpamaan ini adalah bahwa kita tidak tahu apa yang sesungguhnya terjadi. Sebabnya ialah karena kisah ini belum berakhir. Ini adalah mengenai saya dan Anda yang berada di luar sana di malam hari yang gelap. Dan Allah sedang menanyakan kita apakah kita akan melanjutkan mempunyai pikiran seorang budak sewaan atau akhirnya menjadi anak-anak laki-laki dan perempuan yang sejati.