"Ketika anak itu telah besar, dibawanyalah kepada puteri Firaun, yang mengangkatnya menjadi anaknya, dan menamainya Musa, sebab katanya: 'Karena aku telah menariknya dari air'"
(Keluaran 2:10).
Ditemukan oleh putri Firaun ketika ia berumur 3 bulan, Musa secara sah menjadi milik sang putri. Ibunya, Yokhebed, dan adiknya, Miriam, setelah dengan cerdik mengatur untuk membuat mereka menjadi pengasuh, menjadi dominasi terbesar dalam hidupnya sampai usianya 12 tahun. Mereka kemudian diwajibkan untuk menyerahkan Musa kepada ibu angkatnya untuk mendapat pelatihan formal di istana kerajaan.
Selama 28 tahun berikutnya, atau hingga berusia 40 tahun, ia menjalani kehidupan seorang pangeran Mesir yang agung. Namun, selama hampir tiga dekade akulturasi Mesir, ia tidak pernah lupa pelatihannya sebagai orang Yahudi, dan secara pribadi membenci perlakuan kasar yang diterima oleh kaumnya.
Pengendalian emosi Musa dan kemampuannya untuk menghidupkannya, dari semua penampilan luarnya sebagai orang Mesir yang mulia selama bertahun-tahun, itu luar biasa. Faktanya ia pada akhirnya meledak pada sebuah tindakan brutal yang tidak dapat dimaafkan, tetapi kemampuannya untuk menahan diri selama beberapa dekade tentu patut diperhatikan.
Yesus, Musa kita yang lebih baik, juga harus mengalami penguasaan diri yang menyakitkan. Ia adalah Allah yang mengenakan tubuh manusia, hidup di dunia yang menjijikkan, dalam keadaan memuakkan. Dia, yang adalah mata air dan sumber kesucian, Dia yang adalah inkarnasi kebaikan, menemukan bahwa sangat menyakitkan hidup berdampingan dengan kejahatan manusia.
Bukan hanya satu periode, tetapi untuk sepanjang kehidupan-Nya, Dia bertahan menahan diri dari kekuasaan-Nya: Ketika mengamati kekejaman Roma dan Yahudi yang mengerikan; ketika Setan membisikkan pembalasan atas ketidakadilan yang Dia secara pribadi derita; ketika dibebani dengan beratnya penolakan manusia yang untuknya Ia datang memberi keselamatan; ketika tergoda menggunakan kekuatan Ilahi-Nya untuk melarikan diri dari siksaan verbal maupun fisik—Dia mampu menahan kemarahan-Nya yang benar, tidak pernah melanggar ketentuan selama Dia berdiam di dunia.
Bagaimanakah kita bisa memahami atau dengan memadai menanggapi kasih sayang mulia seperti itu? Rasul yang bersyukur, kagum oleh pengetahuan atas karunia surga, memberi jawaban: “Aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati” (Rm. 12:1).
Dedikasi seperti itu tidak membuat kita memperoleh keselamatan, tetapi membuat kita mendapatkan restu—suka cita Allah atas kesediaan kita untuk berserah kepada Anak-Nya, saudara tertua kita dan Musa kita yang jauh lebih baik.
0 komentar :
Post a Comment