BATAS-BATAS PENGAMPUNAN (bagian 2 lagi)
“Tetapi ketika hamba itu keluar, ia bertemu dengan seorang hamba lain yang berhutang seratus dinar kepadanya. Ia menangkap dan mencekik kawannya itu, katanya: Bayar hutangmu! Maka sujudlah kawannya itu dan memohon kepadanya: Sabarlah dahulu, hutangku itu akan kulunaskan. Tetapi ia menolak dan menyerahkan kawannya itu ke dalam penjara sampai dilunaskannya hutangnya”(Matius 18:28-30).
Adegan kedua dalam perumpamaan ini dari sudut pandang manusia dan Ilahi menggerakkan aksi adegan pertama kepada hubungan antara dua umat manusia. Dan pada tahap inilah kita sebagai Petrus-Petrus mendapat masalah.
Marilah kita tangkap dinamikanya. Baru saja saya berdiri setelah bertelut dan meninggalkan tempat berdoa saya, saya benar-benar berada dalam suasana hati yang baik dalam keyakinan sepenuhnya pengampunan Allah. Sejauh itu, baik-baik saja.
Tetapi 10 menit kemudian, saya berpapasan dengan seseorang berutang yang selama berminggu-minggu menghindari saya. Dan beralasan. Dia berutang uang kepada saya, dan saya orang terakhir yang dia ingin temui.
Dan jumlah uang pinjaman itu tidak sedikit. Bagaimanapun, 1000 dinar adalah upah kerja 100 hari, kurang lebih sepertiga dari gaji tahunan. Dalam perhitungan yang sederhana kita bekerja dengan upah 7,5 dolar per jam, bila 8 jam kerja per hari selama 100 hari maka sama dengan 6.000 dolar. Itulah bagian yang tepat dari anggaran belanja tahunan saya. Saya ingin uang saya dikembalikan, dan saya inginkan itu sekarang. Jadi saya menarik kerah bajunya dan memerintahkan dia membayar kalau tidak tahu sendiri.
Dan apa tanggapannya? Dia jatuh ke tanah, bertelut dan memohon kepada saya agar bersabar dan berjanji akan melunaskan utangnya.
Dan hal itu tidak cukup baik bagi saya. Saya sudah terlalu lama berurusan dengan manusia licik ini. Sekarang tiba saatnya keadilan dan kebenaran berlaku. Terlalu lama bermurah hati kepada sosok yang licik ini, saya akan memberi dia apa yang patut dia dapatkan.
Di dalam babak 2 perumpamaan mengenai pengampunan kita menemukan pandangan manusia. Orang ini sudah menghabiskan kuota pengampunan. Karena sudah mencapai batas-batas pengampunan, saya akhirnya melepaskan amarah pembenaran diri sendiri. Sudah tiba waktunya bagi saya untuk melaksanakan hukuman ini.
Permohonannya belas kasihan sama sekali diabaikan adalah merupakan kenyataan. Hampir sama saya mengumandangkan doa baru-baru ini kepada Allah mengenai topik yang sama. Begitu juga, tepat sekali, saya telah “melupakan” bahwa piutang itu sesungguhnya adalah bagian utang saya kepada Allah.
Tetapi mengapa mengingat hal-hal teknis seperti itu apabila saya benar dan orang lain salah? Adil bukan, bahwa saya memberi mereka bagian yang patut menjadi bagian mereka. Memang begitukah?
0 komentar :
Post a Comment