UPAYA PETRUS MENJADI BESAR
“Kemudian datanglah Petrus dan berkata kepada Yesus: Tuhan, sampai berapa kali aku harus mengampuni saudaraku jika ia berbuat dosa terhadap aku? Sampai tujuh kali?’” (Matius 18:21).
Nah, berikut ini ada pertanyaan praktis. Kita bertanya-tanya mengapa Petrus mengajukannya. Tetapi, kalau kita lihat konteksnya, barangkali alasannya tidaklah sukar untuk ditemukan. Salah satu sebabnya ialah bahwa Yesus telah menyinggung topik masalah antara perorangan. Satu sebab lagi, si murid sudah mendengar kumandang kemuliaan di dalam kepalanya semenjak Yesus memuji dia di Kaisarea Filipi. Dan juga, semenjak waktu itu semua murid telah berdebat siapa di antara mereka yang terbesar.
Petrus yakin bahwa yang terbesar adalah dirinya. Dan sekarang dia akan memperagakannya di hadapan mereka semua, termasuk Yesus, yang tidak diragukan lagi akan memuji untuk kemurahan hatinya.
‘‘Sampai berapa kali aku harus mengampuni saudaraku...? Sampai tujuh kali?” (Mat. 18:21). Petrus sama sekali tidak meragukan “kebesaran” pernyataannya. Bagaimanapun, tujuh pengampunan itu banyak, terutama karena para pemimpin Yahudi mengajarkan bahwa kita jangan mengampuni lebih dari tiga kali.
Dengan demikian Rabi Jose ben Hanina menyatakan bahwa “dia yang memohon pengampunan dari sesamanya jangan berbuat demikian lebih dari tiga kali.” Dan Rabi Jose ben Jehuda berkata, “Jika seseorang melakukan pelanggaran sekali, mereka mengampuninya; jika melakukan pelanggaran dua kali, mereka mengampuninya; jika dia melakukan pelangguran untuk ketiga kalinya, mereka mengampuninya; keempat kalinya mereka tidak mengampuni.”
Dasar Alkitabiah untuk peraturan itu muncul di pembukaan pasal-pasal Amos, dari mana para pemimpin Yahudi atau rabbi simpulkan dari ungkapan yang sering diulangi “untuk tiga dosa” dari berbagai bangsa, "bahkan empat,” bahwa batas pengampunan Allah adalah tiga kali. Dengan demikian Petrus, dalam tindak kemurahan hatinya yang luar biasa, menggandakan kuota Yahudi yang diterima itu dan menambahkan satu lagi supaya lebih lengkap. Boleh juga tindakan itu dari seorang nelayan yang pelit dan mudah sekali naik darah.
Tetapi di balik pertanyaan yang dicetuskan Petrus itu ada sesuatu yang jauh lebih menarik baginya. Yaitu, kapan saya mencapai batas pengampunan? Kapan dengan hati nurani yang bersih saya dapat melakukan yang saya mau dan menghajar orang? Atau kapan, setelah saya memenuhi batas yang diharuskan, saya dapat menjadi diriku lagi dan dengan hati nurani bersih membalas apa yang sepatutnya mereka peroleh?
Kita semua ingin mendapat jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini. Dan tanggapan penuh kasih Kristus adalah “tidak pernah.”
0 komentar :
Post a Comment