PENGHARAPAN
“Karena kasih karunia Allah yang menyelamatkan semua manusia sudah nyata. Ia mendidik kita supaya kita meninggalkan kefasikan dan keinginan-keinginan duniawi dan supaya kita hidup bijaksana, adil dan beribadah di dalam dunia sekarang ini dengan menantikan penggenapan pengharapan kita yang penuh bahagia dan penyataan kemuliaan Allah yang Mahabesar dan Juruselamat kita Yesus Kristus, yang telah menyerahkan diri-Nya bagi kita untuk membebaskan kita dari segala kejahatan dan untuk menguduskan bagi diri-Nya suatu umat, kepunyaan-Nya sendiri, yang rajin berbuat baik” (Titus 2:11-14).
Sebagaimana bacaan kemarin, sesungguhnya kejadian itu lebih dari 50 tahun yang lalu. Ketika saya masih muda saya mempunyai seorang teman yang kita sebut D.G. saja. Saya tidak pernah tahu huruf-huruf awal nama seseorang, tapi demikianlah kami menyebutnya. Seorang anak muda seperti sebayanya dan seorang teman yang baik untuk bergaul.
Entah bagaimana kita kehilangan jejak masing-masing. Kemudian ketika saya berusia 16 tahun, saya berkesempatan mampir di rumahnya. Apa yang saya lihat membuat saya terkejut sekali. Kaleng bir di mana-mana mengotori pekarangan. Lebih banyak kaleng bir di dalam rumah ada di mana-mana! Saya sudah melihat banyak sekali kaleng bir, tetapi belum pernah melihat seperti itu.
Jadi saya mengajukan pertanyaan yang wajar-apa yang terjadi? Kemudian saya mendengar berita mengagetkan. D.G. yang berusia 16 tahun sudah mati karena leukemia beberapa hari sebelumnya, dan, karena tidak tahu apa lagi yang harus mereka lakukan, orangtuanya mengadakan pesta bir untuknya dan teman-temannya pada akhir pekan terakhir dalam hidupnya.
Saya lebih tercengang. Pertama, karena kematian yang sebelum waktunya seorang anak muda yang adalah teman saya. Dan kedua, satu-satunya dalam pikiran orangtuanya untuk mengantarkannya pergi adalah pesta bir.
Pada waktu itu saya tidak keberatan terhadap pesta-pesta bir. Bahkan pikiran saya yang agnostik dan hedonistik sulit sekali menangkap keadaan kematiannya. Kejadian itu memaksa saya menghadapi beberapa pertanyaan penting. Apakah melarikan diri dari realita dengan alkohol adalah satu-satunya yang dapat dipikirkan keluarga ini sewaktu menghadapi kematian? Bukankah kehidupan dan kematian layak diperlakukan dengan sedikit bermartabat?
Bukankah kehidupan ini memiliki arti, atau apakah saya, seorang remaja tak menentu, harus melanjutkan menjalani kehidupan dengan sekadar belajar dan kemudian bekerja dan selanjutnya diteruskan dalam keadaan tidak sadar tanpa makna dan arti? Pendek kata, apakah ada pengharapan di dalam kehidupan?
Dibutuhkan tiga tahun sebelum saya menemukan jawabannya. Dan sejak waktu itu, apa yang Paulus katakan “pengharapan yang penuh bahagia,” pengharapan yang melampaui segala-galanya, memimbing kehidupan saya.
“Mempunyai harapan” dalam banyak hal menandakan apa artinya menjadi seorang Kristen-lebih daripada apa pun. Kita bisa menghadapi krisis dan kematian dalam kehidupan ini, tetapi kita tahu bahwa kehidupan ini bukan sekadar sampai di situ saja. Kita mempunyai “pengharapan yang penuh bahagia,” dari suatu kehidupan baru bilamana Yesus datang kembali dalam awan-awan surga.