Setia, tetapi Bisa Berbuat Salah
“Sebab tidak pernah nubuat dihasilkan oleh kehendak manusia, tetapi oleh dorongan Roh Kudus orang-orang berbicara atas nama Allah" (2 Petrus 1:21).
Terlepas dari kedekatan mereka kepada Allah, para nabi bukanlah makhluk sempurna. Berbicara mengenai kerentanan mereka, Ellen White menulis: “Meskipun beberapa orang ini menulis di bawah inspirasi Roh Allah, namun ketika tidak berada di bawah pengaruh langsung mereka kadang-kadang melakukan kesalahan. Hal ini dapat kita ingat bahwa pada suatu peristiwa ketika Paulus menentang Petrus tepat di hadapannya karena dia memainkan peran ganda “(The Seventh-day Adventist Bible Commentary, Ellen G. White Comments, jld. 6, hlm. 1065). “Kita dapat melihat [para bapa dan nabi] berjuang melawan kekecewaan kita, bagaimana mereka jatuh pada pencobaan sama seperti kita, namun demikian hati mereka diberanikan dan menang melalui anugerah Allah” (Kebahagiaan Sejati, hlm. 98). “Tidak ada satu dari rasul-rasul dan nabi-nabi yang pernah dinyatakan tanpa dosa. Manusia yang telah hidup paling dekat kepada Allah, manusia yang mau mengorbankan diri sendiri daripada melakukan dengan sengaja perbuatan yang salah, manusia yang telah dihormati oleh Allah dengan terang dan kuasa Ilahi, telah mengakui keadaan mereka yang berdosa” (Alfa dan Omega, jilid 7, hlm. 473).
Mereka semua, seperti yang dikatakan Ellen White, rentan berbuat salah dan keliru. Kita tidak memiliki rincian sepenuhnya mengenai perjuangan kerohanian mereka, tetapi yang kita tahu: Nuh mabuk, Abraham berbohong, Musa kehilangan kesabaran, Yakub seorang penipu ketika ia masih muda dan mempraktikkan pilih kasih pada usia tuanya, Eli bukanlah orangtua yang baik, Daud pembunuh, Salomo hidung belang, Simson tergoda, dan, tentu saja, daftar terus berlanjut.
Apakah yang kita pelajari dari catatan saksi yang dapat salah ini? Pertama, bahwa Tuhan kita adalah Allah yang suka mengampuni dan bahwa “Jika kita mengaku dosa kita, maka Ia adalah setia dan adil, sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan kita dari segala kejahatan” (1 Yohanes 1:9). Kedua, kita belajar bahwa kesempurnaan adalah masalah arah dan kedewasaan, bukan bebas sepenuhnya dari dorongan kejahatan. Ketiga, kita belajar bahwa Allah menghakimi kita, bukan atas perbuatan kita yang sesekali berbuat baik atau jahat, tetapi atas kecenderungan kata-kata dan tindakan (Kebahagiaan Sejati, hlm. 69-71) kita. Keempat, kita belajar mengapa umat manusia sangat membutuhkan saksi yang lebih baik daripada yang dikenal bangsa Israel. Mereka membutuhkan -Nya untuk membersihkan puing-puing yang menumpuk pada hukum Allah, untuk mengungkapkan karakter Bapa dengan tepat dan akurat, untuk membuktikan bahwa hukum Allah bisa dipelihara, dan untuk menyediakan bagi mereka dan kita kesempurnaan, kebenaran yang tak bernoda yang merupakan syarat mutlak untuk hidup yang kekal.
“Sebab tidak pernah nubuat dihasilkan oleh kehendak manusia, tetapi oleh dorongan Roh Kudus orang-orang berbicara atas nama Allah" (2 Petrus 1:21).
Terlepas dari kedekatan mereka kepada Allah, para nabi bukanlah makhluk sempurna. Berbicara mengenai kerentanan mereka, Ellen White menulis: “Meskipun beberapa orang ini menulis di bawah inspirasi Roh Allah, namun ketika tidak berada di bawah pengaruh langsung mereka kadang-kadang melakukan kesalahan. Hal ini dapat kita ingat bahwa pada suatu peristiwa ketika Paulus menentang Petrus tepat di hadapannya karena dia memainkan peran ganda “(The Seventh-day Adventist Bible Commentary, Ellen G. White Comments, jld. 6, hlm. 1065). “Kita dapat melihat [para bapa dan nabi] berjuang melawan kekecewaan kita, bagaimana mereka jatuh pada pencobaan sama seperti kita, namun demikian hati mereka diberanikan dan menang melalui anugerah Allah” (Kebahagiaan Sejati, hlm. 98). “Tidak ada satu dari rasul-rasul dan nabi-nabi yang pernah dinyatakan tanpa dosa. Manusia yang telah hidup paling dekat kepada Allah, manusia yang mau mengorbankan diri sendiri daripada melakukan dengan sengaja perbuatan yang salah, manusia yang telah dihormati oleh Allah dengan terang dan kuasa Ilahi, telah mengakui keadaan mereka yang berdosa” (Alfa dan Omega, jilid 7, hlm. 473).
Mereka semua, seperti yang dikatakan Ellen White, rentan berbuat salah dan keliru. Kita tidak memiliki rincian sepenuhnya mengenai perjuangan kerohanian mereka, tetapi yang kita tahu: Nuh mabuk, Abraham berbohong, Musa kehilangan kesabaran, Yakub seorang penipu ketika ia masih muda dan mempraktikkan pilih kasih pada usia tuanya, Eli bukanlah orangtua yang baik, Daud pembunuh, Salomo hidung belang, Simson tergoda, dan, tentu saja, daftar terus berlanjut.
Apakah yang kita pelajari dari catatan saksi yang dapat salah ini? Pertama, bahwa Tuhan kita adalah Allah yang suka mengampuni dan bahwa “Jika kita mengaku dosa kita, maka Ia adalah setia dan adil, sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan kita dari segala kejahatan” (1 Yohanes 1:9). Kedua, kita belajar bahwa kesempurnaan adalah masalah arah dan kedewasaan, bukan bebas sepenuhnya dari dorongan kejahatan. Ketiga, kita belajar bahwa Allah menghakimi kita, bukan atas perbuatan kita yang sesekali berbuat baik atau jahat, tetapi atas kecenderungan kata-kata dan tindakan (Kebahagiaan Sejati, hlm. 69-71) kita. Keempat, kita belajar mengapa umat manusia sangat membutuhkan saksi yang lebih baik daripada yang dikenal bangsa Israel. Mereka membutuhkan -Nya untuk membersihkan puing-puing yang menumpuk pada hukum Allah, untuk mengungkapkan karakter Bapa dengan tepat dan akurat, untuk membuktikan bahwa hukum Allah bisa dipelihara, dan untuk menyediakan bagi mereka dan kita kesempurnaan, kebenaran yang tak bernoda yang merupakan syarat mutlak untuk hidup yang kekal.
0 komentar :
Post a Comment