Mimpi Sang Kepala Suku

Waciri tumbuh besar mendengarkan cerita-cerita dari neneknya tentang Lee dan Jessie Halliwell, para misionaris kapal Luzeiro yang membawa kabar kesehatan dan pengharapan kepada orang-orang di hutan Amazon.

Neneknya menceritakan bagaimana ayah dari neneknya itu, sang kepala suku, berhubungan dengan Lee Halliwell untuk pertama kalinya. Pada saat itu, mereka hanya dapat berkomunikasi menggunakan bahasa isyarat karena orang-orang suku itu tidak berbahasa Portugis. Tetapi ia mengerti bahwa keluarga Halliwell datang untuk menolong penduduk di sana dan mereka menerima keluarga Halliwell ke dalam suku mereka.

Sebuah persahabatan yang khusus dan kepercayaan terjalin diantara kepala suku dan keluarga Halliwell, dan sedikit demi sedikit, kepala suku memperkenalkan keluarga Halliwell kepada suku-suku tetangga, la berkata kepada suku tetangga,"Inilah orang-orang yang telah datang untuk menolong kita; mereka tidak datang untuk membunuh siapa pun. Mereka ingin memberikan hidup kepada orang-orang."

Gramofon

Ada sebuah benda yang menarik simpati para penduduk desa.Itu adalah sebuah pemutar musik kuno yang disebut gramofon. Ketika keluarga Halliwell pertama kali tiba di sebuah desa, mereka memasang gramofon tersebut dan memutar lagu-lagu pujian Kristen. Penduduk di sana menyukai musik yang mereka pasang, dan berita tentang mesin pemutar lagu ini dengan cepat menyebar di seluruh desa yang ada di pesisir Sungai Amazon.

Kadangkala keluarga Halliwell mengadakan perjalanan memasuki pedesaan tanpa teman mereka, sang kepala suku. Pada suatu kesempatan, dengan kapal Luzeiro mereka

Pos Misi
- Delapan Uni di Brasil sekarang memiliki total 8.106 gereja dan lebih dari 1,5 juta anggota gereja.
- Brasil memiliki 87 sekolah Advent SMP/SMA dan 6 kampus/ universitas.
- HopeChannel Brasil, Novo Tempo, mengudara secara teratur melalui transmisi udara di kota kedua terbesar di dunia, Sao Paolo, Brasil.
pergi ke sebuah komunitas yang sangat berbahaya, dikenal dengan "para pemenggal kepala"-sebuah suku yang dikenal karena kebengisan mereka.

Sementara kapal Luzeiro bergerak mendekati desa tersebut, seorang pria muda yang berada bersama mereka di kapal itu melihat beberapa penduduk suku itu berada di tepi sungai. Pria-pria itu sedang menunjuk ke arah kapal Luzeiro, kemudian menunjuk jari mereka ke arah kepala mereka sendiri. Mereka terus mengulangi gerakan tubuh ini, dan pria muda itu yakin mereka sedang berencana untuk memotong kepala mereka yang ada di kapal itu.

Pria muda itu berlari ke arah keluarga Halliwell, dan ia meminta dengan sangat,"Janganlah kiranya kita mendarat di sini! Mereka akan memotong kepala kita! Ayo kita kembali pulang!"

"Tidak," kata Lee Halliwell. la tahu bahwa mereka harus memasuki desa ini. "Tenanglah," ia berkata
kepada pria muda itu sementara kapal Luzeiro mendekati tepi sungai untuk berhenti.

Lee Halliwell keluar dari kapal dan menyapa para pria penduduk asli suku itu, yang terus saja menunjukkan jari mereka ke arah kepala mereka. Tiba-tiha, ia menyadari bahwa mereka ternyata sedang menunjukkan jari mereka ke arah telinga mereka-mereka ingin mendengar gramofon!

Dengan cepat ia memasang gramofon itu. Sementara lagu pujian mulai diputar, penduduk suku itu mulai berkumpul dengan senyuman di wajah mereka. Sebuah jalan masuk telah terbuka untuk menjangkau bahkan kepada suku yang paling ditakuti ini dengan pekabaran Advent tentang harapan dan kesembuhan.

Mengajari Kepala Suku

Lee Halliwell sangat berhati-hati dalam menjaga hubungannya dengan temannya, sang kepala suku. Sedikit demi sedikit ia mengajari kepala suku ajaran-ajaran dari Alkitab, seperti bagaimana menyucikan hari Sabat, dan tentang makanan halal dan haram.

"Ayah dari kakek saya memakan banyak jenis binatang,"Waciri berkata. la melanjutkan, "Jadi keluarga Halliwell mengajari satu demi satu tentang hewan kepadanya. Yang pertama ialah tentang babi, kemudian monyet, diikuti dengan kura-kura. Setelah itu ia mulai berhenti memakan ikan yang haram. Akhirnya, tinggal satu jenis daging yang tersisa yang harus diajarkan yaitu rusa."

Oleh karena ayah dari kakek Waciri ialah kepala suku, ia memperkenalkan konsep daging halal dan haram kepada penduduk di sana. Ajaran ini menyebabkan sebuah perpecahan besar, dan hanya beberapa orang yang tersisa. Suku itu menjadi lebih kecil, akan tetapi, beberapa orang yang tersisa itu melanjutkan aturan ini untuk tidak memakan makanan haram dan itu terbawa hingga generasi mereka yang kedua dan ketiga.

Beberapa tahun yang lalu, suku itu harus meninggalkan hutan mereka dan pindah untuk mendirikan sebuah tempat bagi mereka di pinggiran Kota Manaus. Tidak semua dari mereka memercayai Allah, dan banyak dari mereka mengonsumsi alkohol. Ini menyebabkan terjadinya banyak perkelahian di antara mereka.

Ketika Waciri menjadi kepala suku, ia melarang penggunaan alkohol di suku mereka. Kemudian, ia mengundang semua orang di sukunya itu untuk menyucikan hari Sabat-saat ini, setengah dari suku Waciri ialah pemelihara hari Sabat. Waciri memiliki kerinduan agar sukunya dapat memiliki tempat yang layak untuk memuji Tupan (bahasa suku mereka untuk nama Tuhan).

Mimpi

Suatu malam, ia bermimpi. Di dalam mimpinya ia melihat sebuah "Rumah Tupan"yang sangat indah, lengkap dengan atap, lantai, dan dinding. Ketika ia terbangun, Waciri dengan segera menggambar apa yang ia lihat dalam mimpinya. Namun, ia harus menunggu selama 12 tahun agar mimpinya menjadi, kenyataan.

"Pada awalnya kali tidak memiliki bahkan satu real (mata uang Brasil) untuk mulai membangun sebuah bangunan,"Waciri berkata sambil mengingat keadaan saat itu. "Namun saya percaya bahwa Allah akan mengirimkan uang itu, karena Dialah yang telah mengirimku mimpi itu."

Kemudian suatu hari, mimpi itu mulai menjadi kenyataan. Sebuah muatan kayu dikirim sebagai hadiah kepada suku itu dan itu cukup untuk membangun sebuah atap. Kemudian lebih banyak bahan bangunan lagi diberikan-batu bata, kursi, dan sebuah podium mimbar-tiba-tiba semuanya terkumpul dan gedung gereja dapat dibangun.

Orang-orang itu dapat beribadah bersama setiap hari Sabat di gedung gereja mereka yang baru, dan kedamaian dirasakan di dalam perkumpulan mereka. Penduduk yang dulunya marah menjadi tenang, dan sekarang kebanyakan dari mereka telah menjalin hubungan pertemanan kembali. Sekarang, suku saya telah berdamai.

0 komentar :

Post a Comment

 
RENUNGAN GMAHK © 2016. All Rights Reserved. Powered by Blogger
Top
close
Banner iklan