Allah yang Melakukannya?
“Telah Kautaruh aku dalam liang kubur yang paling bawah, dalam kegelapan, dalam tempat yang dalam” (Mazmur 88:7).
Kita semua mengalami masa-masa baik dan buruk, dan rupanya hari itu adalah hari yang buruk—bahkan mungkin tahun yang buruk—bagi sang pemazmur yang mengutarakan isi hatinya kepada Allah. Kita tidak tahu yang sebenarnya. Yang kita tahu adalah si penyair merasa sebagai orang yang paling malang di saat ia menulis Mazmur 88.
“Ya TUHAN, Allah yang menyelamatkan aku, siang hari aku berseru-seru, pada waktu malam aku menghadap Engkau.” (Mzm. 88:2). "Sendengkanlah telinga-Mu kepada teriakku; sebab jiwaku kenyang dengan malapetaka” (ay. 3,
4). “Aku telah dianggap termasuk orang-orang yang turun ke liang kubur; aku seperti orang yang tidak berkekuatan” (ay. 5).
Darimana kesulitan-kesulitannya berasal? la menjelaskannya dalam ayat kita hari ini. ‘Telah Kautaruh aku dalam liang kubur yang paling bawah, dalam kegelapan, dalam tempat yang dalam” (ay. 7). Ingat, ia sedang bercakap dengan Allah, ia sedang menyalahkan Allah, dari antara semua orang, untuk segala penderitaannya. “Aku tertekan oleh panas murka-Mu, dan segala pecahan ombak-Mu Kautindihkan I kepadaku” (ay. 8). Lebih jauh lagi, karena Allah pula, pemazmur telah ditinggalkan oleh sahabat-sahabatnya. ‘Telah Kaubuat aku menjadi kekejian bagi mereka” (ay. 9). Apakah teologi yang dianut pemazmur sudah benar? Apakah kesulitannya datang langsung dari Allah? Apakah Allah yang menimpakan nasib itu kepadanya? Apakah Allah marah kepadanya? Apakah Allah sumber penderitaan umat manusia? Memang ada ayat-ayat Alkitab yang menempatkan Allah sebagai penyebab segala akibat, bahkan segala kekejian—bencana, penyakit, dan kematian. Namun berdasarkan ayat-ayat lain mengenai kasih Allah yang sempurna dan kudus, kita boleh mengambil kesimpulan bahwa para penulis yang terinspirasi sedang berusaha untuk mempertahankan keutuhan monoteisme dengan cara menghubungkan semua kejadian baik maupun buruk kepada satu-satunya Allah.
Apabila sang pemazmur menggunakan bahasa kognitif dalam menulis syairnya, kita harus menerimanya mentah-mentah sebagai teologi yang menyalahkan Allah. Seperti Anda ketahui, kita menggunakan bahasa kognitif untuk menyampaikan gagasan—filsafat, teologi. Tetapi mazmur adalah syair, dan syair bukanlah bentuk percakapan kognitif. Syair menggunakan bahasa afektif, yang berguna untuk mengungkapkan (dan membangkitkan) emosi. Dan Allah dengan murah hati telah mengizinkan kita—bahkan para penulis suci-Nya—untuk menyalurkan rasa frustrasi kita, tanpa menghukum kita, atau membinasakan kita, terlepas dari betapa menghujatnya ucapan afektif yang kita gunakan. Akan tetapi kita harus berhati-hati, agar saat menggunakan kata-kata afektif itu, kita tidak mempersalahkan Allah. Itu adalah teologi yang sesat.
0 komentar :
Post a Comment