Bimbingan Orang Tua
“Hai anakku, dengarkanlah didikan ayahmu, dan jangan menyia-nyiakan ajaran ibumu, sebab karangan bunga yang indah itu bagi kepalamu, dan suatu kalung bagi lehermu" (Amsal 1:8,9).
Barangkali setiap budaya memiliki koleksi ungkapan petuahnya sendiri. Acap-kali kita menyebutnya “amsal”—ungkapan singkat yang mudah diingat dan mengandung suatu kebenaran. Di Afganistan mereka berujar: “jangan tunjukkan padaku pohon palma, tunjukkan kurma.” Di Tiongkok ada ujaran bahwa “seorang yang pintar mengubah masalah besar menjadi masalah kecil, dan masalah kecil menjadi tidak ada masalah." Orang Mesir berujar: "Belajarlah sopan-santun dari orang yang tidak sopan." Di Vietnam diujarkan bahwa "Makin tinggi engkau mendaki, semakin parah jatuhmu." Dan di Zimbabwe orang suka berujar: "Seorang pengecut tak berparut."
Masalahnya dengan pepatah-pepatah itu adalah meskipun mereka meringkaskan suatu kebenaran, namun hanya satu sisi dari kebenaran. Dan memang. amsal, meskipun benar adanya, dapat bertentangan satu sama lain. Mungkin Anda pernah mendengar ibunda menasihati bahwa "Banyak tangan akan meringankan pekerjaan.” Dan apakah ayahanda berpetuah. ‘Terlalu banyak juru masak membikin kaldu rusak”? Kedua ujar-ujar (yang bertentangan) itu benar, dan... kita menjumpai hal yang sama di dalam kumpulan amsal Alkitab. Amsal 26:4 memerintahkan: ‘jangan menjawab orang bebal menurut kebodohannya, supaya jangan engkau sendiri menjadi sama dengan dia." Nasihat yang bijak, bukan? Tetapi petuah berikutnya tepat kebalikannya: "Jawablah orang bebal menurut kebodohannya, supaya jangan ia menganggap dirinya bijak” (ay. 5).
Di sepanjang kitab Amsal kita membaca nasihat yang baik mengenai bimbingan orang tua: "Hai anakku, dengarkanlah didikan ayahmu, dan jangan menyia-nyiakan ajaran ibumu" (Ams. 1:8. bandingkan Ams. 2:1; 3:1; 4:10; 5:1; 6:1. 2: 7:1; dst.). Sosok pemberi nasihat ini—seorang tua atau sosok yang berkuasa—tidaklah penting. Di sini kita menemukan kebijaksanaan yang disaring dan diwariskan dari generasi ke generasi. Orang bodoh akan menganggapnya hal sepele, tapi orang bijak—berapa pun usianya—akan menghargainya.
Kata Ibrani yang diterjemahkan sebagai "amsal” berasal dari kata benda mashal. yang merujuk pada perbandingan atau persamaan. Kita mungkin dapat menyebutnya tamsil atau kiasan. Sebagai contoh: "Hati yang gembira adalah obat yang manjur, tetapi semangat yang patah mengeringkan tulang” (Ams. 17:22).
Berhadapan dengan kebijaksanaan tradisionil. kitab Amsal menyodorkan sebuah tema besar: "Takut akan TUHAN adalah permulaan pengetahuan" (Ams. 1:7; bdk. Ams. 9:10). Takut akan Allah itulah yang dilakukan oleh orang bijak dan dihindari orang bodoh. Itulah sikap yang sebenarnya, membuat seseorang menjadi bijak.
0 komentar :
Post a Comment