Kesejahteraan Orang Fasik

“Sebab aku cemburu... melihat kemujuran orang-orang fasik" (Mazmur 73:3).

Kitab Mazmur dibuka dengan gambaran tentang orang benar dan orang fasik.

Di satu sisi, orang benar seperti pohon yang ditanam di tepi sungai yang tak berhenti mengalir. Mereka pun tak hentinya berbunga dan menghasilkan buah, musim demi musim. Di lain sisi, orang fasik seperti kulit sekam yang diterbangkan angin dari bebijian dan terbuang saat ditampi.

Teologi yang disajikan dalam Mazmur 1 adalah apa yang boleh disebut 'teologi ulangan." karena filosofi yang sama disajikan dalam gambaran yang rinci di sepanjang kitab Ulangan. Orang baik berkembang di bawah anugerah Allah, sementara orang fasik lisut dan layu di bawah kutuk-Nya. Cara pandang ini memang sangat masuk akal... bahkan hingga saat ini... sampai...

Bukan rahasia lagi bahwa terkadang (barangkali lebih sering daripada tidak!) ada pemutar-balikan peran yang mengejutkan. (Rabi Harold Kushner menulis sebuah buku laris berjudul When Bad Things Happen to Good People = Ketika Hal-hal jelek Menimpa Orang-orang Baik.) Inilah tema utama yang didiskusikan di kitab Ayub. Ayub tidak dapat mengerti mengapa orang tak berdosa seperti dirinya dapat mengalami begitu banyak kemalangan. (Bahkan kitab ini dibuka dengan pernyataan bahwa ia adalah orang baik. Allah sendiri yang membangga-banggakannya: "Sebab tiada seorangpun di bumi seperti dia. yang demikian saleh dan jujur, yang takut akan Allah dan menjauhi kejahatan" (Ayub 1:8). Tetapi sahabat-sahabat Ayub menyampaikan tuduhan keras dan panjang lebar bahwa pasti ada suatu alasan di balik penderitaan Ayub, Ia pasti telah melakukan sesuatu yang menjijikkan dan harus bertobat. Kemudian barulah Allah akan mengampuninya dan mengubah kemalangannya menjadi sebuah berkat.

Dalam ayat hari ini penyair yang terinspirasi itu bergumul dengan disonansi kognitif, yakni suatu keruwetan mental, emosional, dan spiritual yang dialami seseorang tatkala dalil teologisnya tidak sesuai dengan pengalaman hidupnya. Teori menyatakan satu hal. tapi pengalaman hidup meruntuhkan teori itu. Kita dapat memilih satu dari beberapa sikap dalam menghadapi disonansi kognitif. Kita dapat mengulang-ulang teori itu dengan suara nyaring, tanpa mempedulikan ketidaksesuaian dalil dan kenyataannya. Kita dapat juga melepaskan teori itu. dan kehilangan kepercayaan kita padanya. Atau kita dapat meninjau ulang bukti-bukti dan menyesuaikan teori, sambil tetap memelihara iman kita.

Pemazmur pada akhirnya memilih yang terakhir, Ia tetap memelihara kepercayaannya kepada Allah sambil juga mengakui bahwa ada teori yang tidak sesuai—setidaknya dalam jangka pendek. Bagaimana pendapat Anda?

0 komentar :

Post a Comment

 
RENUNGAN GMAHK © 2016. All Rights Reserved. Powered by Blogger
Top
close
Banner iklan