Kepantasan Ibadah

“Mazmur untuk korban syukur. Bersorak-soraklah bagi TUHAN, hai seluruh bumi! Beribadahlah kepada TUHAN dengan sukacita, datanglah ke hadapan-Nya dengan sorak-sorai!" (Mazmur 100:1,2).

Mazmur ke seratus ini adalah syair penyembahan singkat di dalam mana sang pemazmur bercerita kepada kita bagaimana umat Allah seharusnya menyembah di bait suci. Seluruh syair ini bertaburan nada dan irama.

Tempat-tempat penyembahan kuno, baik di Mesir, Mesopotamia. Kanaan, atau Israel, bukanlah tempat di mana para penyembah duduk mengikuti kebaktian. Bagi mereka duduk menjadi sesuatu yang sangat pasif. Para penyembah berdiri sepanjang ritus religi mereka. Teks Ibrani memang tidak menyebut jelas tentang posisi berdiri tegak tatkala menyembah Allah, tetapi Eugene Peterson beranggapan, tentu saja dengan tepat, bahwa berdiri adalah sikap yang biasa ditemui di dalam bait Allah.

Secara harfiah, ayat di atas menyuruh kita untuk datang ke hadirat Allah dengan berteriak. Kata Ibrani yang diterjemahkan “bersorak” memiliki arti mengeluarkan suara keras yang merujuk pada suara tanduk domba (shofar) yang ditiup, atau suara manusia yang nyaring, dan sering digunakan sebagai tanda kemenangan dan/atau sukacita. Di dalam budaya Barat kita mengasumsikan bahwa sikap khidmat itu haruslah hening, tetapi orang Israel di Timur Dekat kuno menghargai suara yang keras sebagai bagian dari sikap penghormatan.

Selain itu. umat Allah mengungkapkan pemujaan mereka dengan sukacita. "Beribadahlah kepada TUHAN dengan sukacita" (ay 2). Mereka juga diperintahkan oleh mazmur ini untuk "beribadah” kepada-Nya. Kata kerja ini datang dari kata benda Ibrani ebed. yang berarti "budak” atau "pelayan.” Cara untuk menunjukkan bakti kepada TUHAN adalah melalui kegembiraan—sukaria. "Datanglah ke hadapan-Nya dengan sorak-sorai!" (ay. 2). Kebaktian dan penyembahan ditunjukkan dengan sikap yang sama—sorak-sorai.

Allah berhak mendapatkan penyembahan yang penuh sukaria karena "Dialah yang menjadikan kita dan punya Dialah kita. umat-Nya dan kawanan domba gembalaan-Nya" (ay 3). TUHAN bukan hanya Pencipta tetapi juga Pemelihara. Karenanya, rasa syukur mesti ditambahkan kepada kegembiraan yang memuncak di dalam menyembah "TUHAN,” yang "baik, kasih setia-Nya untuk selama-lamanya. dan kesetiaan-Nya tetap turun-temurun" (ay. 5).

Meskipun konteks Mazmur 100 secara keseluruhan tentang bangsa Israel— nama Allah adalah YHWH. yang menciptakan satu bangsa, yang membuat perjanjian dan memelihara bangsa yang diciptakan-Nya itu. yakni keturunan Abraham—rasanya bukan sesuatu yang salah jika kita menerapkan kata-kata tersebut untuk diri kita. Para penulis Perjanjian Baru berbicara tentang perjanjian yang baru (atau diperbarui), yang mengikat kita di dalamnya.

0 komentar :

Post a Comment

 
RENUNGAN GMAHK © 2016. All Rights Reserved. Powered by Blogger
Top
close
Banner iklan