Ucapan yang Menyakitkan
“Orang yang menyanyikan nyanyian untuk hati yang sedih adalah seperti orang yang menanggalkan baju di musim dingin, dan seperti cuka pada luka” (Amsal 25:20).
Kebanyakan kita akan bersikap hati-hati bila berbicara dengan orang yang sedang sakit hati—mereka yang sedang bingung atau sedih. Namun terkadang, terlepas dari niat baik kita, komentar yang kita lontarkan sering menyakitkan ketimbang menghibur. Mungkin masalah adalah bahwa kita lupa untuk berpikir masak-masak sebelum membuka mulut dan bicara. Terlepas dari makna yang terkandung di balik kata-kata kita yang salah tempat itu dan dari niat baik kita, apa yang kita katakan dapat lebih banyak kesalahan ketimbang kebaikannya Dalam suatu kesempatan saya mengalami kesulitan di tempat kerja, dan mengadu kepada ayah saya. Setelah saya mengakhiri keluh-kesah saya. ayah, yang biasanya peka, memberikan nasihat. Sebenarnya, saya tidak meminta dinasihati; saya hanya hendak mencurahkan isi hati. Tetapi kata-kata ayah membuat saya merasa seperti "orang yang menanggalkan baju di musim dingin' dan terasa "seperti cuka pada luka”—membuat hati saya seolah menggigil kesakitan.
Seorang gembala pada pemakaman bocah berusia 4 tahun menenangkan orang tua almarhum, dan berkata. "Ini adalah kehendak Allah.” Di perjalanan pulang kata-kata itu berpilin di benak saya—"Ini adalah kehendak Allah” bahwa anak tak bersalah itu tenggelam? Orang-orang lain di pemakaman itu pun sama seperti saya merasakan tidak tepatnya kata-kata itu. Dan orang tua anak itu... adakah mereka terhibur dengan gagasan bahwa Allah menghendaki anak mereka satu-satunya itu meninggal? Sekali lagi, kata-kata yang ditujukan pada hati yang sakit dan jiwa yang resah itu membuat orang yang bersedih menjadi beku, karena gembala itu "seperti orang yang menanggalkan baju di musim dingin, dan seperti cuka pada luka.”
Orang bisa saja membela kata-kata semacam itu dengan menafsirkannya sebagai ucapan afektif (pengungkap emosi) dan bukannya ucapan kognitif (pernyataan teologis). Pengertian semacam itu dapat membantu. Namun demikian. komunikasi afektif semacam itu tidak bermanfaat dan dapat digolongkan sebagai "omong kosong." yang ditentang oleh Yesus. Teologi yang tepat (ucapan kognitif yang benar) seyogianya menghasilkan ucapan belasungkawa yang baik (ucapan afektif yang efektif). Amsal 16:24 tepat pada sasarannya dengan mengatakan bahwa kata-kata yang pada tempatnya (kata Ibrani ini sering diterjemahkan "menyenangkan") adalah seperti sarang madu.
Ketika kita melihat orang lain terluka emosi dan mentalnya, secara alami kita ingin mengatakan sesuatu untuk menolongnya. Tetapi terlalu sering kita menyemburkan kata-kata dari mulut kita, yang membuat kita seperti "orang yang menanggalkan baju di musim dingin, dan seperti cuka pada luka." Demikian pula "orang yang berpengetahuan menahan perkataannya" (Ams. 17:27).
0 komentar :
Post a Comment