Saya baru berusia 4 tahun ketika ibu saya meninggal, terlalu muda untuk memahami kematian, tapi saya tahu ada sesuatu yang salah. Masa kecilku tidak bahagia. Tidak peduli seberapa keras mencoba, saya tidak bisa menyenangkan ayah. Dia memberikan sedikit perhatian kepada saya. Ketika saya berusia 9 tahun saya meninggalkan rumah dan tinggal bersama teman-teman dan kerabat sampai saya ditempatkan dalam panti asuhan. Saya tinggal di rumah anak laki-laki selama tiga tahun ketika saya masih remaja.
Sementara berada disana saya bertemu dengan seorang anak laki-laki yang berpostur tubuh tinggi yang adalah seorang pemain basket yang baik. Kami mulai bercakap-cakap, dan ketika saya mengatakan kepadanya nama saya dia tampak terkejut. Kemudian dia mengatakan kepada saya bahwa kami adalah saudara sepupu. "Ibumu dan ayah saya adalah kakak beradik," dia meyakinkan saya. Saya hampir tak mempercayainya. Saya tidak perhah tahu keluarga ibu saya, dan tidak tahu bahwa sayajuga memiliki bibi, paman dan sepupu. Sepupu saya membawa saya ke rumahnya untuk bertemu keluarga yang adalah juga keluarga saya. Rumah penuh dengan banyaknya kerabat yang ingin melihat saya. Ketika kami bercerita, saya mengerti bahwa ibu saya meninggal akibat komplikasi banyaknya pukulan ayah saya terhadapnya. Saya pun keluar dari rumah anak laki-laki tersebut dan pergi untuk tinggal dengan paman, saya. Kadang-kadang saya pergi ke rumah ayah untuk melihat adik perempuan dan adik laki-laki saya. Sesaat saya mendekati rumah, saya melihat ayah saya memegang adik saya dan melemparkannya ke dinding.
Ketika saya berlari dan mencoba menghentikannya, ia mengambil sebuah papan dan menggunakannya untuk memukuli saya. Kemarahan saya terhadap ayah bertambah dan memburuk. Ayah saya disukai dan dihormati di pulau Guam. Tak seorang pun di luar keluarga kami tahu seperti apa dia dirumah. Saya menolak untuk mengandalkan siapa pun untuk apa pun. Saya membiayai kehidupan saya di SMA dan bekerja untuk membeli pakaian saya sendiri. Ketika saya lulus, saya bergabung dengan angkatan udara nasional untuk menjauh dari pulau itu. Dua tahun kemudian saya dipindahkan ke marinir. Saya mulai bekerja menyelesaikan jajaran untuk sersan. Saya menikah, dan saya bersama istri memiliki tiga anak. Banyak kali pekerjaan saya mengharuskan saya barada jauh dari rumah, dan sulit menjaga pernikahan kami karena sifat saya yang buruk dan ketidakhadiran saya. Akhirnya kami bercerai. Saya merasa terluka dan seperti ada yang hilang di hati saya; sekali lagi saya tidak punya keluarga dan merasa benar-benar sendirian. Tidak Puas Meskipun saya punya karier yang sukses di marinir, saya masih merasa tidak puas. Tidak penting bagi saya lagi, dan saya memutuskan bahwa hidup itu tidak berarti lagi. Saya mengambil senapan dan amunisi dan pergi ke pantai untuk mengakhiri hidup.
Saya menceburkan diri ke dalam air dan menghantam sebuah batu kemudian saya duduk sambil menggenggam pistol. Saya merenungkan kegagalan kehidupan saya. Saya duduk sejenak di sana ketika itu seorang polisi datang menghampiri. Dia melihat saya yang berusaha untuk bunuh diri, dan menceburkandiri kedalam air untuk mendapati saya. Saya mengangkat senapan dan memperingatkan dia untuk mundur. Petugas polisi akhirnya mundur. Saat itu juga kolonel saya tiba dan memerintahkan saya untuk meletakkan pistol kebawah. Saya menolak. Lalu ayah saya tiba. Ketika saya melihat ia berjalan ke arah saya, saya menodongkan pistol ke mulut saya dan menarik pelatuk. ada ledakan, dan saya terdorong jatuh ke belakang batu. Orang-orang yang berdiri di sekitar bergegas masuk dan menarikku keluar dari air. Ternyata saya masih hidup. Mereka memeriksa pistol dan menemukan bahwa peluru itu macet pada waktu melewati laras senapan. Ketika ayah saya melihat apa yang terjadi, ia barjalan pergi Setelah peristiwa ini saya dipecat dari marinir. Sekarang saya tidak memiliki apa-apa. Saya tidak punya pekerjaan, tidak punya keluarga, dan saya benci ayah saya. Hidup saya adalah nol besar. bersambung Sabat depan.
0 komentar :
Post a Comment