PERLUNYA BERDOA DI TENGAH KEBERHASILAN
"Kata Yesus: ‘Suruhlah orang-orang itu duduk.’Ada pun di tempat itu banyak rumput. Maka duduklah orang-orang itu, kira-kira lima ribu laki-laki banyaknya.... Ketika orang-orang itu melihat mujizat yang telah diadakan-Nya, mereka berkata: ‘Dia ini adalah benar-benar nabi yang akan datang ke dalam dunia.’Karena Yesus tahu, bahwa mereka hendak datang dan hendak membawa Dia dengan paksa untuk menjadikan Dia raja, Ia menyingkir pula ke gunung, seorang diri” (Yohanes 6:10-15).
Pernahkah Anda memberi makan orang banyak? Bahkan dua lusin tamu saja sudah bisa membuat tuan rumah terganggu dalam merencanakan dan menyediakan.
Coba 5.000! Atau lebih baik lagi 20.000, karena yang dihitung di zaman itu hanyalah para laki-laki saja. Para istri dan anak-anak masih harus ditambahkan. Tetapi bahkan memberi makan 5.000 saja sudah merupakan prestasi sangat baik jika anda dapat melakukannya dengan dua ikan ukuran kecil dan lima potong roti jelai kecil.
Orang-orang tidak kehilangan arti penting mukhjizat itu. Dengan serta merta mereka mengidentifikasikan Yesus sebagai “nabi yang akan datang,” suatu rujukan ke kitab Ulangan 18, di mana Musa menyatakan: “Seorang nabi dari tengah-tengahmu, dari antara saudara-saudaramu, sama seperti aku, akan dibangkitkan bagimu oleh TUHAN, Allahmu; dialah yang harus kamu dengarkan” (ayat 15,18).
“Inilah dia yang telah dijanjikan,” terlintas di pikiran orang banyak. Inilah Musa ke-dua. Sebagaimana Musa menyediakan manna yang ajaib itu di padang gurun, Yesus menyediakan roti dari surga untuk kita (Yoh. 6:5-14). Dan sebagaimana Musa menyelamatkan kita dari para penjajah, maka logika penalarannya, penggantinya akan membebaskan kita dari bangsa Romawi. Mereka memutuskan menjadikan Yesus raja di tempat itu. Bahkan para murid turut tergiur oleh kemungkinan itu. Markus memberi tahu kita bahwa Yesus harus “membuat”atau “memaksa” mereka naik ke atas perahu mereka dan meninggalkan-Nya, sementara Dia membubarkan massa (Mrk. 6:45,46).
Kita kehilangan bagian penting dari kisah ini jika kita gagal melihat Yesus dibujuk untuk memperoleh kerajaan tanpa kayu salib. Dia sedang menghadapi godaan terberat-Nya. Di sini terjadi ulangan dari pencobaan pertama-Nya di padang gurun, tetapi dengan kekuatan yang lebih besar. Sekarang Dia memperagakan bahwa Dia dapat membuat roti “dari batu” dan hal tersebut sangat mengesankan roang-orang. “Dirikan kerajaanmu di atas roti. Jadikan itu yang pertama dalam program-Mu untuk menghapus kelaparan. Gandakan roti dan ikan selalu dan rakyat akan mengasihi-Mu.”
Kita merasakan kesungguhan pencobaan bagi Yesus tercermin oleh kenyataan bahwa segera setelah membubarkan orang banyak, “Ia pergi ke bukit untuk berdoa” (ayat 46).
Melakukan kehendak Allah dalam menyelesaikan missi-Nya tetap merupakan yang utama dalam kehidupan-Nya. Dan melakukan kehendak Allah berarti selalu berdoa, bahkan bagi saya sampai hari ini.
0 komentar :
Post a Comment