Seruan Hikmat
Beberapa ayat terakhir dari amsal ini kembali kepada pribadi yaitu kepada aplikasi praktis apa artinya memiliki hikmat. Pengetahuan intelektual tentang keberadaan hikmat, tentang kehadiran hikmat dalam Penciptaan, sungguh dalam. Namun di dalam Alkitab, kebenaran harus selalu ada hingga pada tingkat pemahaman manusia dan bagaimana kita merespons kepada apa yang telah diberikan kepada kita di dalam Yesus.
Bacalah Amsal 8:32-36. Apakah pekabaran hidup dan mati yang diberikan di sini?
Kata Ibrani yang diterjemahkan dengan "diberkati" (NKJV) berarti "berbahagia" (lihat RSV). Di ayat ini kata “diberkati" melekat pada dua hal. Yang pertama menjelaskan sebuah tindakan: berbahagialah mereka yang memelihara jalan-jalanku" (ayat 32). Bahasa yang sama digunakan di Mazmur ll9: 1,2, berkaitan kepada hukum: "Berbahagialah orang-orang yang hidupnya tidak bercela,... yang hidup menurut Taurat Tuhan. Berbahagialah orang-orang yang memegang peringatan-peringatan-Nya" (NKJV). Yang kedua menjelaskan sebuah sikap: "Berbahagialah orang yang mendengarkan daku" (ayat 34).
Dalam kedua kasus tersebut syaratnya menyiratkan usaha yang berkesinambungan. Tidaklah cukup hanya menemukan jalan yang benar; kita harus “memegangnya." Tidaklah cukup mendengarkan firman Allah; kita harus “memerhatikan setiap hari" dan mengikut apa yang kita tahu. Sebagaimana Yesus katakan: "Yang berbahagia ialah mereka yang mendengarkan firman Allah dan yang memeliharanya" (Luk. 11:28). "Apakah ini kebahagiaan yang diinginkan yang dapat ditemukan di jalan ketidaktaatan dan pelanggaran hukum fisik dan moral?
Kehidupan Kristus menunjukkan sumber sejati kebenaran dan bagaimana hal itu harus dicapai... Jika mereka mau benar-benar berbahagia, mereka harus berusaha dengan sukacita berada di tempat tugas, melakukan pekerjaan yang berpindah kepada mereka dengan kesetiaan, menyesuaikan hati dan hidup mereka kepada pola yang sempuma." Ellen G. White, My Life today, hlm. 162.
Kebahagiaan bisa menjadi sesuatu yang sulit dipahami; makin kita berusaha untuk itu, semakin sulit tampaknya bagi kita untuk mencapainya. Mengapa kesetiaan kepada Allah harus, menjadi prioritas utama kita ketimbang pengejaran kebahagiaan? Di samping itu, manakah yang lebih mungkin menghasilkan kebahagiaan (dan mengapa), mencari kebahagiaan, atau mencari terlebih dahulu kerajaan Allah?
Kebahagiaan bisa menjadi sesuatu yang sulit dipahami; makin kita berusaha untuk itu, semakin sulit tampaknya bagi kita untuk mencapainya. Mengapa kesetiaan kepada Allah harus, menjadi prioritas utama kita ketimbang pengejaran kebahagiaan? Di samping itu, manakah yang lebih mungkin menghasilkan kebahagiaan (dan mengapa), mencari kebahagiaan, atau mencari terlebih dahulu kerajaan Allah?